Sandiwara |
Pengertian apresiasi itu ada dua, pertama pengertian apresiasi secara harfiyah (kata), kedua pengertian apresiasi secara istilah (makna). Pengertian apresiasi secara harfiyah dan secara istilah ini akan diterangkan kemudian.
1.
Pengertian Apresiasi Secara Harfiyah
Pengertian apresiasi secara harfiyah, apresiasi asalnya dari kata appreciation
(bahasa Inggris), artinya penilaian, pemahaman, dan penghargaan (Rusyana,
1978:65). “Aprisiasi” tersebut adalah
kata kerja yang sifatnya aktif, dan orangnya yang aprisiasi disebut apresiator.
2.
Pengertian Apresiasi Secara Istilah
Pengertian apresiasi secara istilah,
apresiasi adalah usaha untuk mengakrabi sesuatu dengan sungguh-sungguh,
sehingga timbol dan tumbuh pengertian,
minat, penghargaan serta kepekaan yang baik terhadap sesuatu tersebut (Rusyana,
1978:18).
Sesuatu
dalam pengertian apresiasi secara istilah tersebut bisa bermacam-macam, dan
yang paling dasar adalah: suara, gerak, rupa.
Suara, gerak, dan rupa tersebut di dasarkan atas begitu bayi lahir.
Begitu bayi lahir, maka ia pasti menangis, pasti bergerak, dan pasti juga
melihat. Masing-masing jenis kesenian terhadap begitu bayi lahir tersebut kemudian
berkelakar, seni suara berkelakar: “dirilah yang paling penting, sebab diri ini
lebih dulu ada, buktinya begitu bayi lahir kemudian menangis”. Seni rupa berkelakar: “dirilah yang paling
penting, sebab diri lebih dulu ada, buktinya begitu bayi lahir kemudian melihat,
sedang seni tari juga berkelakar: “dirilah yang paling penting, sebab diri ini
lebih dulu ada, buktinya begitu bayi lahir kemudian bergerak.
Apresiasi,
merupakan fitrah manusia yang ada, dibawa sejak lahir, maksudnya setiap manusia
lahir terhadap sesuatu suara, gerak, dan
rupa itu pasti melakukan apresiasi, hanya saja, apresiasi itu walaupun
pengertiannya sebagai kata kerja yang bersifat aktif, tetapi dalam
perjalanannya kemudian bertingkat-tingkat ada yang rendah, ada yang tinggi,
artinya ada yang pasif ada yang aktif.
C. Tingkat-tingkatan Apresiasi
Tingkat-tingkatan apresiasi itu
banyak sekali, paling tidak (Rusyana 1978:65) membagai menjadi empat tingkatan:
pertama: pengenalan, kedua: penghargaan, ketiga: penghayatan,
dan keempat: implikasi. Tingkat-tingkatan apresiasi tersebut
kemudian diterangkan sebagai berikut.
1. Tingkat Pengenalan
Tingkat pengenalan, maksudnya
apresiasiator bisa merasakan sesuatu, tetapi tidak tahu apa yang sedang
dilakukan, dan tidak tahu pula apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Contoh
apresiasi tingkat pengernalan ini:
layaknya anak bayi digendong oleh ibunya, di-puk-puk, diayun dan sebagainya, anak bayi itu merasakan sesuatu
enak dan nyaman, tetapi tidak tahu apa yang sedang dilakukan: di-puk-puk, digendong, dan sebagainya, dan
tidak tahu pula apa yang sedang terjadi: enak dan nyaman.
2. Tingkat Penghargaan
Tingkat penghargaan, maksudnya
apresiasitor bisa merasakan sesuatu, dan tahu apa yang sedang dilakukan, dan
tahu pula apa yang sedang terjadi, tetapi tidak tahu mengapa sesuatu itu
terjadi. Contoh apresiasi tingkat penghargaan, layaknya anak kecil yang sedang
bermain ayunan, ia tahu apa yang sedang dilakukan, yakni bermain ayunan, dan
tahu pula apa yang sedang terjadi: merasa enak, nyaman dan sebagainya, tetapi
tidak tahu mengapa sesuatu: enak, nyaman dan sebagainya itu terjadi.
3. Tingkat Penghayatan
Tingkat
penghayatan, maksudnya apresiasitor bisa merasakan sesuatu, tahu apa yang sedang dilakukan, tahu apa yang
sedang terjadi, dan tahu pula mengapa sesuatu itu terjadi. Contoh apresiasi
tingkat penghayatan, layaknya orang dewasa yang sedang bermain ayunan, ia tahu
apa yang sedang dilakukan, yakni main ayunan, tahu apa yang sedang terjadi, enak
dan nyaman, dan tahu pula mengapa sesuatu—enak dan nyaman—itu terjadi—yakni
karena adanya gerakan-gerakan ritmis dari ayunan tersebut.
4. Tingkat Implikasi
Tingkat
implikasi atau tepat guna, yakni apresiasitor di mana tidak saja bisa merasakan sesuatu,
tahu apa yang sedang terjadi, dan tahu pula mengapa sesuatu itu terjadi, tetapi
lebih dari itu adalah sudah bisa merasakan manfaat atau tepat guna bahkan
bersifat makrifat di balik dari apresiasi apa yang sedang dilakukan, apa yang
sedang terjadi dan mengapa sesuatu itu terjadi. Contoh apresiasi tingkat
implikasi, layaknya ketika orang dewasa itu bermain ayunan, maka dibenaknya:
“ini sebagai terapi dan Tuhan yang menggerakkan”. Contoh lain: seperti orang
menari Gatutkaca, karena sedemikian rupa tinggi aprisiasinya (aprisiasi tingkat
implikasi), maka kemudian tidak merasa
diri sebagai penari, tetapi merasa diri sebagai Gatutkaca benar, itulah
apresiasi implikasi atau tepat guna.
D.
Apresisasi yang Diharapkan
Apresiasi
dalam hal tingkat-tingkatannya seperti telah
disebutkan, sangat berkaitan erat dengan tingkat usia dan kedewasaan seseorang.
Pengenalan misalnya terjadi pada usia anak kecil (bayi sampai dengan kira-kira
umur 12 tahun), penghargaan terjadi pada usia anak remaja (di atas 12 tahun
sampai dengan kira-kira umur 20 tahun), penghayatan terjadi pada orang dewasa
(di atas 20 tahun sampai dengan kira-kira umur 40 tahun), implikasi terjadi
pada orang tua (di atas empatpuluh tahun).
Apresiasi
yang diharapkan dalam buku dramaturgi yang
disampaikan ini, sudah barang tentu tidak hanya aspresiasi pengenalan seperti
anak bayi atau anak kecil, tetapi walaupun belum sampai pada tingkat apresiasi
implikasi seperti orang tua, paling tidak sampai pada tingkat apresiasi
penghargaan seperti orang dewasa. Oleh karena itu apa-apa dramaturgi yang
disampaikan dalam buku ini lebih bersifat dasar, harapannya agar bisa
diketahui, dan diakrapi.
E.
Macam Apresiasi
Macam apresiasi itu ada dua: pertama apresiasi aktif, kedua apresiasi pasif (Tim Mata Kuliah
“Apresiasi Seni”, 2005;6). Apresiasi aktif dan apresiasi pasif tersebut akan
diterangkan kemudian.
Apresiasi aktif, adalah apresiasi
terlibat. Maksudnya, apresiasi dengan ikut serta menjadi pelaku. Apresiasi dengan ikut serta menjadi pelaku
ini misalnya: apresiasi teater. Apresiasi teater ini, apresiator (yang
apresiasi) ikut menjadi aktor, apresiasi karawitan, apresiator ikut menjadi
pengrawit, dan sebagainya,
Apresiasi pasif, adalah apresiasi
tidak terlibat. Maksudnya, apresiasi dengan cara menjadi penonton saja. Apresiasi dengan cara menjadi penonton saja
ini misalnya: apresiasi teater. Apresiasi teater ini, apresiator (yang
apresiasi) hanya menonton saja, apresiasi karawitan, apresiator hanya mendengarkan
saja, dan sebagainya.
F.
Langkah-langkah Apresiasi
Langkah-langkah apresiasi itu ada
empat, pertama mengamati, kedua menghayati, ketiga mengevaluasi, dan keempat
mengapresiasi (Kusnadi, 2009:18). Keempat langkah-langkah apresiasi tersebut
diterangkan sebagai berikut.
Mengamati, dalam hal ini apresiator mengamati
dalam hal ini melihat objek karya seni terlebih dulu, dengan serta merta
mencurahkan segala indra yang ada, baik mata, dan telinganya.
Menghayati, setelah melihat objek
karya seni dengan serta merta mencurahkan segala indra yang ada baik mata,
maupun telinga, kemudian menghayati dalam hak ini berusaha menangkap dengan
memikir dan merasakan makna dari pesan-pesan yang ada.
Mengevaluasi, setelah mengetahui
makna dari pesan-pesan yang ada, kemudian mengevaluasi dalam hal ini menimbang
bobot kualitas makna dari apa yang dilihat dengan kriteria-kriteria yang
apresiator ketahui
Apresiasi, setelah menimbang bobot
kualitas makna dari apa yang dilihat dengan kriteria-kriteria yang apresiator
ketahui, kemudian menjatuhkan hukum dalam
arti sikap menghargai atau mengkritik. kalau baik menghargai, kalau jelek
mengkritik.
BAB III
DRAMATURGI
A. Pengertian
Dramaturgi
Pengertian dramaturgi
seperti telah disinggung di atas ada dua: pertama pengertian dramaturgi secara harfiyah, dan kedua pengertian dramaturgi secara istilah. Pengertian dramaturgi secara harfiyah dan pengertian dramaturgi secara istilah tersebut akan diuraikan
secara lebih lanju.
1.
Pengertian Dramaturgi Secara Harfiyah
Pengertian
dramaturgi secara harfiyah,
dramaturgi asalnya dari berbagai kata dan bahasa. Dramaturgi asalnya dari kata:
draomai (bahasa Yunai), artinya
berbuat, berlaku, bertindak, dan bereaksi.
Dramaturgi asalnya dari kata dramaturgie
(bahasa Belanda), artinya ajaran seni drama.
Dramaturgi asalnya dari kata dramaturgy
(bahasa Inggris), artiya seni atau teknis penulisan dan penyajian sebuah drama
(Harimawan, 1977:45).
2. Pengertian Dramaturgi Secara Istilah
Pengertian dramaturgi secara istilah diterangkan oleh Sumaryadi (dosen—pengampu mata kuliah
Dramaturgi jurusan Pendidikan Seni Tari) dalam pembelajaran mahasiswa
(pengamatan, 2008) adalah ajaran tentang hukum drama (the law of drama), dan konvesi drama (the convention of drama).
Apa itu hukum dan apa itu konvensi, berikut diuraikan lebih lanjut.
B.
Hukum dan Konvensi Drama
1.
Hukum Drama
Hukum, adalah aturan-aturan yang
harus ada atau yang harus dilakukan dalam sebuah drama, artinya kalau hukum atau aturan-aturan itu
tidak ada atau tidak dilakukan, maka drama itu tidak akan berjalan (Sumaryadi,
2008).
Hukum
atau aturan-aturan yang harus ada atau yang harus dilakukan dalam sebuah drama
itu banyak sekali, antara lain: cerita,
tokoh, konflik, panggung, dan sebagainya masih ada yang belum disebutkan di
sini.
Hukum
tersebut agar pengertiannya lebih jelas dan lebih mudah dipahami, bayangkan
kalau sutradara akan menyajikan sebuah
drama tetapi ceritanya tidak ada !, tidak jalan kan ?, karena tidak jalan, maka
cerita dalam sebuah drama itu merupakan hukum atau aturan yang harus ada atau
yang harus dilakukan. Yang lain bagaimana kalau sutradara akan menyajikan
sebuah drama tetapi tokohnya tidak ada, tidak jalan juga kan ?, karena tidak
jalan, maka tokoh dalam sebuah drama itu merupakan hukum atau aturan yang harus
ada atau yang harus dilakukan. Demikian
juga dengan yang lain konflik, panggung, dan sebagainya.
2. Konvensi Drama
Konvensi,
adalah aturan-aturan yang disepakati dalam sebuah drama yang sifatnya
turun-tumurun (Sumaryadi, 2008). Beda
konvensi dengan hukum, kalau konvensi
atau aturan-aturan yang
disepakati itu tidak ada atau tidak dilakukan maka drama tersebut tetap
berjalan, tetapi kalau hukum atau aturan-aturan yang harus ada atau yang harus
dilakukan itu tidak dilakukan maka drama tersebut tidak bisa berjalan.
Bayangkan
antara hukum dan konvensi itu adalah sebuah sepeda, maka roda, setang, sedhel itu adalah hukum, sebab sepeda
tanpa roda, tanpa setang, sedhel
tidak akan berjalan. Tetapi pion, warna
hitam, dan asesori macam-macam itu adalah konvensi, sebab sepeda tanpa pion, warna hitam, dan
asesori macam-macam itu tetap bisa berjalan.
Konvensi
atau aturan-aturan yang disepakati dalam sebuah drama yang sifatnya
turun-tumurun itu banyak sekali terdapat dalam drama-drama tradisi pada umumnya
seperti wayang, ketoprak, ludrug, dan sebagainya. Dalam wayang misalnya, adegan
pertama atau jejeran itu haruslah
kerajaan, gendingnya Karawitan, suluk-nya
pathet nem wantah. Terhadap konvensi tersebut, bisa saja tidak
demikian—adegan pertama atau jejeran
bukan kerajaan tetapi yang lain—misalnya pertapan, kasatriyan, dan sebagainya,
sedang gendingnya ladrang Slamet, suluk-nya
pathet jugag, dan sebagainya.
BAB
IV
D
R A M A
Ada
beberapa masalah drama yang akan disampaikan dalam bab ini, pertama
ihwal drama, kedua berbagai istilah drama, ketiga hakikat drama,
dan keempat jenis drama, mudah-mudahan cukup memberikan pemahaman.
A. Asal Drama
Asal drama adalah dari sebuah lakon
(Depdikbud, 1984:17). Lakon asalnya dari
kata laku, laku artinya perbuatan atau tindakan (bahasa Jawa) atau action
(bahasa Inggris). Dalam konteks Jawa laku mempunyai pengertian tersendiri,
yakni perbuatan yang sungguh-sungguh
untuk mencapai cita-cita. Laku ini misalnya
seperti puasa hingga beberapa hari, shalat juga hingga sekian banyak rakaat,
sedekah sekian banyak Rupiah hingga terasa berat akan kesungguhannya.
Bicara tentang lakon lebih lanjut dalam
konteks drama, lakon itu adalah cerita yang masih dalam angan-angan. Cerita/lakon dalam angan-angan tersebut da0lam
perjalananya kemudian ditulis, dan setelah ditulis cerita tersebut namanya
naskah. Naskah, dalam perjalanannya kemudian dipentaskan, dan setelah
dipentaskan namanya drama. Jadi, asal drama awalnya dari lakon/cerita, naskah, kemudian baru drama.
Drama dari sisi jenisnya ada tiga, pertama drama panggung, kedua
drama kehidupan, dan ketiga drama nyata. Drama panggung merupakan drama tiruan dari
sebuah kehidupan, sebaliknya drama kehidupan merupakan objek yang ditiru oleh
drama panggunung. Baik drama panggung maupun drama kehidupan, semua merupakan dunia
maya dan pura-pura. Adapun drama yang
sesungguhnya adalah drama nyata di akhirat.
Pengertian dunia yang sedang
dilakoni oleh manusia sekarang ini sebagai dunia maya dan pura-pura,
disampaikan oleh Allah Swt seperti dalam
firmannya: “wamal haatadunya la’ib: dan tidaklah kehidupan di Dunia ini adalah pura-pura
(Al-Qur’an).
Sedang pengertian dunia yang sedang
dilakoni oleh manusia sekarang ini adalah panggung sandiwara, disampaikan oleh
Nike Ardila dalam nyanyiannya:
“Dunia ini panggung sandiwara,
critanya mudah berubah, kisah Mahabrata, atau tragedi dari Yunani.
Setiap kita dapat satu peranan, yang
harus kita mainkan, ada peran wajar dan ada peran berpura-pura, mengapa kita bersandiwara,
mengapa kita bersandiwara.
Beratnya kocak bikin kita
terbahak-bahak, beratnya crita bikin orang mabuk kepayang.
Dunia ini penuh peranan, dunia ini
bagaikan jembatan kehidupan, mengapa kita bersandiwara, mengapa kita
bersandiwara.
1.
Drama Panggung
a. Drama
pangung adalah gambaran yang hidup dari sebuah kehidupan yang dipentaskan di
atas panggung (the live presented in action). Berdasarkan definisi drama tersebut, sesuai dengan pernyataan
Suminta bahwa syarat dari sebuah drama itu haruslah hidup (Suminto, 2000: 67).
b. Drama
panggung adalah sebuah karangan yang dipentaskan melalui tindak tanduk: mimik
atau perubahan muka, dan pantomimik atau gerak-gerik badan dari seorang
pemain, pemain itu baik berujut manusia atau pun boneka, dilengkapi dengan
dialog, dan musik untuk menyempurnakan komunikasi dengan penonton (Sadili dalam
Nugroho, 2001:6).
c. Drama adalah sebuah kehidupan yang pura-pura
(model of imitation) yang
dipentaskan di atas panggung (Depdikbud, 1984:17)
Berdasar pengertian drama panggung
tersebut, maka ada perkara penting yang perlu di sampaikan, yakni media drama.
Media drama terlihat di dalamnya adalah suara baik suara tokoh maupun suara
musik, tubuh, gerak, kata baik dialog maupun prolog—dialog awal, dan epilog—dialog
akhir.
2. Drama Kehidupan
a. Drama
kehidupan adalah sebuah rentetan situasi dalam kehidupan manusia: agung,
gembira, sedih, dan sebagainya (pengamatan dalam keterangan Suparjo ketika
memberikan pembelajaran mahasiswa, 2008). Contoh sebuah rentetan situasi dalam
kehidupan manusia ini misalnya: agung, gembira, sedih, dan seterusnya. Agung
ketika manusia lahir, gembira ketika remaja,
dan sedih ketika dewasa, dan seterusnya.
b. Drama adalah peristiwa yang digerakkan oleh alam
(Depdikbud, 1984:17) Peristiwa yang digerakkan oleh alam ini
misalnya peristiwa perang, damai, dan ramah. Peristiwa perang digerakkan oleh
alam untuk mendapatkan kedudukan, peristiwa damai digerakkan oleh alam untuk
mendapatkan ketenteraman, dan peristiwa
ramah digerakkan oleh alam untuk mendapatkan persaudaraan.
c. Drama
adalah sebuah perilaku manusia yang ditempuh secara mujahadah atau
sungguh-sungguh untuk memahami Penciptanya (Depdikbud, 1984:25).
Drama kehidupan, panggungnya adalah
dunia. Dunia sebagai panggung drama atau sandiwara, naskahnya adalah Al-Qur’an,
sutradaranya Tuhan, aktor dan aktrisnya manusia, penontonnya malaikat,
hiburanya ibadah, honornya syorga caciannya maksiat, hukumanya neraka.
Adapun kehidupan yang sebenarnya adalah
akhirat (Abdul Azis, Agustus, 2002).
Khusus maka penontonnya itu para
malaikat, ditunjukkan dalam ceritanya bahwa malaikat tersebut pernah memprotes
atau mengkritik Tuhan: “yaa Allah mengapa engkau jadikan manusia, sedang
manusia itu senang berperang menumpahkan darah ?’, jawab Tuhan “Aku lebih tahu
daripada kamu, lihat itu banyak orang
yang mengagungkan-Ku”. Sebuah pertanyaan: “kalau semua itu pura-pura, lalu kehidupan
apa yang sungguh-sungguh itu ?”, jawabnya bagi orang iman adalah kehidupan
akhirat.
3. Drama Nyata
Drama
nyata adalah drama kelak diakhirat. Drama nyata kelak diakhirat ini dijamin
oleh setiap agama seperti dalam kitabnya. Drama nyata ini ada bahagia ada sengsara. Bahagia di sorga, sengsara di neraka. Bahagia
disorga sebagai balasannya orang berbuat baik ketika di dunia, sengsara di neraka
sebagai balasannya orang berbuat jahat ketika di dunia. Drama nyata ini
sifatnya langgeng abadi, jika bahagia bahagia selamanya, jika sengsara sengsara
juga sengsara selamanya.
B.
Berbagai Istilah Drama
Berbagai
istilah drama, pertama: teater, kedua tonil, ketiga sandiwara, dan keempat
drama iu sendiri. Tentang teater, tonil, sandiwara, dan drama tersebut akan
diterangkan lebih lanjut.
1.
Teater
Teater,
asalnya dari kata theatron (bahasa
Inggris), artinya gedung pertunjukan (Depdikbud, 1984:12) Karena teater itu artinya gedung
pertunjukan, maka apa pun kesenian tidak
terkecuali seperti musik, tari, yang dipentaskan di dalam gedung pertunjukan
itu namanya teater: teater musik, teater tari, teater….. dan sebagainya. Memang demikian konon di luar negeri seperti
Australia dan Inggris misalnya, istilah teater itu melekat dalam berbagai
kesenian yang dipentaskan dalam gedung pertunjukan. Orang menonton musik, dikatakan orang
menonton teater musik. Orang menonton
tari, dikatakan menonton teater tari,
dan sebagainya.
Pengertian
teater untuk Indonesia lain. Pengertian
teater untuk Indonesia hanya diberikan kepada gedung pertunjukan film saja,
misalnya: Nusukan Teater, Soboharjono Teater, Regen Teater, dan
sebagainya. Untuk gedung pertunjukan
musik, indonesia lebih cenderung menyebutnya dengan istilah studio, misalnya
Stodio Musik, Stodio Tari atau stodio dance, dan sebagainya.
2.
Tonil
Tonil,
asalnya dari kata toneel (bahasa
Belanda), artinya layar (Harimawan, 1977). Layar tersebut bisa bergambar alam
atau pemandangan, rumah, jalan, kamar, atau yang lain. Layar bergambar tersebut
selanjutnya dijadikan sebagai latar atau setting
permainan yang ditempatkan di bagian belakang panggung pertunjukan
Istilah
tonil, untuk Indonesia selama ini hanya digunakan untuk menyebut drama tradisi
yang waktunya hanya beberapa jam saja (dua jam). Seperti wayang orang di tahun ’89-an,
karena istilah tonil untuk Indonesia hanya digunakan untuk menyebut drama
tradisi yang waktunya hanya dua jam saja, maka ketika masih semarak wayang
orang itu, di Radio Republik Indonesia (RRI) setiap hari Rabo ada siaran khusus
wayang orang yang disebut dengan istilah “Radio Tonil Wayang Orang”.
3.
Sandiwara
Sandiwara asalnya dari kata sandi dan wara (bahasa Jawa), sandi artinya rahasia, wara artinya berita atau ada yang
mengatakan warah artinya ajaran
(Depdikbut, 1984). Jadi, sandiwara itu artinya berita atau ajaran. Berita atau ajaran dimaksud, adalah berita
atau ajaran yang ada di balik sandiwara itu sendiri.
Istilah sandiwara itu dicetuskan
oleh Mangku Negara ke IV, dan dipopulerkan oleh Ki. Hadjar Dewantaoro untuk
menggantikan istilah drama yang berbahasa Belanda ketika itu (Subalidinata,
1985). Untuk menggantikan istilah drama
dari bahasa Belanda ketika itu, maknanya juga untuk menggantikan filosofinya
yang materialisme, hingga menjadi filosofi yang spiritualisme. Implikasi dari
pengertian tersebut, sandiwara adalah
drama yang masih bertolak dari cerita-cerita tradisi dan belum ada ide
baru. Kalau sudah banyak ide bahkan
baru, termasuk penyajiannya juga baru konsepnya digabung dengan barat, bukan
sandiwara namanya, tetapi drama.
4.
Drama
Drama, asalnya dari kata: draomai—bahasa Yunani, artinya berbuat,
berlaku, bertinadak, dan bereaksi (Firnandus, 1990:11). Drama ini adalah sebuah
cerita dipentaskan di atas panggung oleh aktor dan aktris dengan segala tindak
tanduk, gerak-gerik badan, aktor dan aktris tersebut bisa manusia atau boneka.
C.
Hakikat Drama
Hakikat
drama adalah konflik (Depdikbud,
1984:12) Konflik adalah tarik-menarik yang dilakukan
oleh tokoh berlawanan: protagonis dan antagonis karena adanya kepentingan
masalah yang berbeda (Depdikbud, 1984:25) Jadi, tarik menarik yang
dilakukan oleh tokoh berlawanan tersebut layaknya satu kendaraan dua sopir:
satu untuk kepentingan pergi ke utara, satunya lagi untuk kepentingan pergi ke
selatan.
Kepentingan
sebab terjadinya konflik itu banyak sekali, tetapi bagaimanapun banyaknya
kepentingan sebab terjadinya konflik itu, pokoknya ada tiga saja, yakni harta,
tahta, dan wanita, atau disingkat dengan istilah “tiga ta”. Untuk sekarang ini
tidak hanya harta, tahta, dan wanita, tetapi ditambah lagi senjata, hingga
disingkat menjadi “empat ta”.
Kepentingan terjadinya konflik itu, contohnya adalah cerita Pandawa-Kurawa, “Kikis
Tunggarana”, dan Rama-Rahwana.
Cerita
Pandawa-Kurawa, adalah sebuah cerita konflik harta dan tahta. Pandawa ingin
agar negeri dan tahta raja Hastina kembali menjadi miliknya, sedang Kurawa
ingin agar negeri dan tahta raja Hastina tetap lestari menjadi miliknya, hingga
terjadilah konflik dalam hal ini perang besar Baratayuda Jayabinangun. Lebih
lanjut ceritanya demikian: awalnya Negara Hastina itu adalah
milik Pandawa: setelah Raja Abiyasa mati Pandulah yang menggantikannya. Dalam perjalanannya, oleh kurawa Pandu
menggantikan Raja Abiyasa setelah mati
demikian dianggap salah, yang benar Destaratra. Maka yang benar Destarata,
sebab, Pandu itu anak ke dua, sedang Destaratra anak pertama. Dengan anggapan
demikian, maka Kurawa kemudian berusaha sedemikian rupa untuk merebut negeri
dan tahta raja Hastina, hingga setelah Raja Pandu mati, Kurawa berhasil
menduduki negeri dan tahta raja Hastina. Usaha dan keberhasilan Kurawa itu
Pandawa sangat tidak berkenan, hingga berusaha merebutnya kembali. Adanya tarik
menarik kepentingan yang berbeda antara Pandawa dan Kurawa inilah kemudian
terjadi perang besar yang disebut dengan istilah perang Baratayuda Jaya
Binangun.
Cerita
“Kikis Tunggarana”, adalah sebuah cerita konflik karena kepentingan harta dalam
hal ini adalah negara. Ceritanya: kikis
Tunggarana tersebut adalah sebuah kikis atau tanah perbatasan antara negeri
Pringgandani milik Gatutkaca dengan negeri Traju Trisna milik Boma
Narakasura. Oleh Gatutkaca kikis
tersebut diambil agar bisa menjadi wilayah Pringgandani, sedang oleh Boma
Narakasura kikis tersebut diambil agar bisa menjadi wilayah Traju Tresna.
Karena dua kepentingan yang berbeda inilah kemudian berujung sampai dengan
konflik peperangan besar yang disebut dengan istilah perang Gojali Suta.
Cerita
Rama-Rahwana adalah sebuah cerita konflik karena kepentingan wanita dalam hal
ini adalah Dewi Sinta. Ceritanya, Rama
ingin agar Dewi Sinta tetap menjadi istrinya, sedang Rahwana ingin agar Dewi
Sinta cerai dengan Rama dan menjadi istrinya. Atas kepentingan yang berbeda
ini, kemudian menjadi konflik yang berujung pada peperangan besar dengan
istilah Sari Kuduk Palwaga.
Seperti telah diterangkan di atas,
karena hakikat drama itu adalah konflik, maka konflik itu kemudian menjadi
hukum yang harus ada dalam sebuah drama. Drama tanpa konflik tidaklah
menarik. Drama tanpa konflik yang tidak
menarik itu misalnya seperti berikut.
“Kupu-kupu hinggap di sekuntum bunga
Melati mengisap madu. Setelah
kupu-kupu itu kenyang, kemudian pergi
terbang dan hinggap di atas batu”.
Drama kupu-kupu tersebut tidaklah
menarik, sebab tidak ada konflik. Drama itu akan menarik jika kemudian diberi
konflik. Perhatikan tambahan cerita
tersebut:
“………., kemudian hinggap di atas
batu. Kupu-kupu itu belum saja kenyang mengisap madu, kemudian ditangkap oleh
anak kecil, tetapi terbang lari dan tidak kena.
Karena ditangkap tidak kena, maka anak kecil itu kemudian nangis
sejadi-jadinya”.
Drama di atas sekarang sudah menarik, karena sudah
ada konfliknya antara kupu-kupu dengan anak kecil. Kupu-kupu ingin bebas tidak
terikat, tetapi anak kecil ingin kupu-kupu itu tidak bebas dan terikat.
Hakikat konflik, adalah dua tokoh
yang berlawanan antara tokoh protagonis melawan tokoh antagonis. Kupu-kupu
sebagai tokoh protagonis, sedang anak kecil sebagai tokoh antagonis.
Hakikat konflik adalah tarik menarik
antar kepentingan tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Kepentingan itu:
kupu-kupu ingin bebas tidak mau terikat, sedang anak kecil ingin agar kupu-kupu
itu mau ditangkap sehingga tidak bebas dan mau terikat.
D.
Konflik Drama
Konflik drama itu ada empat macam, pertama: konflik batin, kedua:
konflik antara manusia dengan manusia,
ketiga: konflik antara manusia dengan alam, dan keempat: konflik
antara manusia dengan Tuhan.
1.
Konflik Batin
Konflik batin adalah konflik yang
timbol dalam diri-sendiri. Konflik batin
ini terjadi karena adanya sikap diri
yang sulit mengambil keputusan “ya” atau
“tidak” terhadap masalah yang ada.
Sebagai contoh konflik batin ini bisa dilihat dalam Suyanto (1998) lakon
“Rama Tundung”, dalam Suwarno (1997) lakon lakon “Cipta Ning”, dan perang Kembang dalam sajian wayang kulit purwa.
Dalam lakon “Rama Tundung”, Rama
sangat menderita atas batin diri antara “ya” dan “tidak” menjadi raja di
Pancawati. Kalau “ya” akan mengorbankan adik sendiri Barata
yang sesungguhnya juga berhajat untuk menjadi raja, kalau ”tidak” akan
mengorbankan kehendak orang tua Dasarata yang sesungguhnya meminta diri mau
menjadi raja untuk menggantikannya (Suyanto, 1987)
Lakon
“Cipta Ning”, adalah juga simbol dari perlawanan diri sebagai simbol nafsu
kebaikan melawan para bidadari sebagai simbol nafsu kejahatan yang dimenangkan
diri sebagai simbol nafsu kebaikan (Suwarno, 1980)
Perang
Kembang atau
Janaka-melawan tiga raksasa: buta cakil,
buta Pragalba, dan Buta Terong, adalah simbol dari perlawanan diri sebagai
simbol nafsu baik melawan tiga raksasa sebagai simbol nafsu jahat yang
dimenangkan oleh diri sebagai simbol nafsu baik (Sri Mulyono, 1976).
2.
Konflik Antar Manusia
Konflik
antar manusia, adalah konflik di mana terjadi tarik-menarik antara kepentingan
manusia satu dengan manusia lainnya.
Pada umumnya kepentingan itu adalah kepentingan harta, tahta, dan wanita
(tiga ta). Contoh konflik antar manusia itu misalnya: dalam cerita perang
Baratayuda antara Pandawa melawan Kurawa, perang Gojalisuta antara Kresna
melawan Boma Narakasura, dan perang Sarikuduk Palwaga antara Rama melawan
Rahwana.
Perang Baratayuda antara Pandawa melawan Kurawa, adalah konflik antar
manusia dalam kepentingan harta dan tahta negeri Hastina, perang Gojali Suta
antara Kresna melawan Boma Narakasura, adalah konflik antar manusia dalam
kepentingan harta kikis tunggarana, sedang perang Sarikuduk Palwaga antara Rama
melawan Rahwana, adalah konflik antar manusia dalam kepentingan wanita Dewi
Sinta
3.
Konflik Antara Manusia dengan Alam
Konflik
antara manusa dengan alam termasuk pula
dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan, adalah konflik di mana terjadi tarik menarik
kepentingan antara manusia dengan alam: tumbuh-tumbuhan dan hewan. Konflik antara manusia dengan alam ini
contohnya adalah cerita “Babat Alas Mertani nDanawarta”, Rampogan melawan
Gunungan, dan Cekruk Truna melawan macan atau celeng.
Cerita
“Babat Alas Mertani nDanawarta” adalah contoh konflik antar manusia dengan
tumbuh-tumbuhan. Dalam “Babat Alas
Mertani nDanawarta” tersebut diceritakan bahwa Bratasena mempunyai kepentingan
membuat keraton. Karena mempunyai
kepentingan membuat keraton, maka Bratasena kemudian membabat alas nDanawarta
tersebut sedemikian rupa untuk bisa dijadikan sebagai keraton.
Cerita
Rampogan melawan Gunungan, adalah juga contoh konflik antar manusia dalam hal
ini Rampogan (sekelompok manusia) dengan gunung, ceritanya: karena Rampogan
hendak berjalan ke suatu tempat terhalang oleh gunung, maka Rampogan tersebut
kemudian membabatnya hingga rata. Konflik Rampogan melawan Gunungan ini ada
dalam cerita wayang apa pun sebagai adegan pendukung atau bukan adegan pokok.
Cerita
Cekruk Truna melawan macan atau celeng, adalah contoh konflik antar manusia
dengan hewan. Ceritanya, Cekruk Truna
salah satu orang dari rampogan yang ada ingin pergi ke suatu tempat seperti
padepokan atau negeri sebrang lewat gunung, tetapi terhalang oleh macan atau
celeng. Karena terhalang oleh macan atau
celeng, maka kemudian perang antar keduanya.
Dalam peperangan ini macan atau celeng mati ditumbak oleh Cekruk Truna.
4.
Konflik Antara Manusia dengan Tuhan
Konflik antara manusia dengan Tuhan,
adalah konflik di mana manusia merasa kepentingan diri diabaikan oleh Tuhan.
Rasa kepentingan diri diabaikan oleh Tuhan ini lazimnya kemudian muncul
ungkapan yang berisi cercaan kepada Tuhan: “Tuhan tidak adil”, “Tuhan tidak
ada”, “Tuhan telah mati”, dan sebagainya.
Contoh konflik manusia dengan Tuhan ini seperti ketoprak lakon: “Darma Gandhul”, wayang lakon “Yesus
Tetak”, dan “Patine Gustia Allah”,
semua dipentaskan tahun 1945-an zaman Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketoprak lakon “Darma
Gandhul”, konon berisi cerita yang mencerca agama—Tuhan dengan cara
mengartikan atau mentafsir al-Qur’an
secara keliru atau seenaknya sendiri seperti syari’at misalnya disebut sebagai sarengat, artinya sari-sarining
kringet: sari-sarinya keringat, yaj’al: yajngal artinya “tiba-tiba berlari
kencang”, dzaalika: “kemudian
berhenti dan berdiri tegak”, dan sebagainya. Ketoprak tersebut maka menyajikan
lakon “Darma Gandhul” yang berisi
cercaan terhadap agama—Tuhan, sebab manusia dalam hal tersebut komunitas
ketoprak tidak puas dengan suasana dan keadaan yang dirasakan.
Wayang lakon“Yesus Tetak” dan “Patine
Gusti Allah, intinya konon berisi cerita seperti cerita “Darma Gandhul”: mencerca agama—Tuhan
dalam hal ini agama Nasrani. Maka mencerca agama—Tuhan dalam agama Nasrani,
sebab manusia juga tidak puas dengan suasana dan keadaan ketika itu.
E.
Jenis Drama
Jenis drama bisa dilihat dari
berbagai sisi, di antaranya: pertama dari
sisi suasana, kedua dari sisi
keluasan wilayah, ketiga dari sisi banyak
sedikitnya tokoh yang dialog, keempat dari sisi aturan, dan kelima dari sisi fungsi.
Jenis drama dari berbagai sisi tersebut selanjutnya akan diterangkan kemudian.
1.
Dari Sisi Suasana
Jenis drama dilihat dari sisi suasana ada tiga, pertama jenis drama happy,
kedua jenis drama tragis, ketiga jenis drama komedi. Ketiga jenis drama dari
sisi suasana tersebut diterangkan kemudian.
a.
Drama Happy
Drama happy, happy artinya bahagia. Drama happy
adalah drama yang diakhiri dengan kebahagiaan atau kemenangan tokoh protagonis.
Banyak contoh drama happy ini
misalnya drama tradisi, terlebih wayang.
Wayang lakon apa pun selalu diakhiri dengan tayungan (Werkudara menari) sebagai
simbolisme dari akhir kebahagiaan atau kemenangan tokoh protagonis Pandawa.
Drama tradisi terlebih wayang tersebut maka selalu diakhiri dengan kebahagiaan
atau kemenangan dari tokoh protagonis, sebab filosofinya filosofi perang antara
kebaikan dan keburukan yang dimenangkan oleh kebaikan: “sapa temen bakal tinemu”: siapa yang sungguh-sungguh akan sampai
pada cita-cita, “sapa sing salah bakal
seleh”: siapa yang salah pasti akan kelihatan.
b.
Drama Tragis
Drama Tragis, adalah drama yang
diakhiri dengan kesedihan atau kekalahan dari tokoh protagonis. Drama
tragis ini kalau dalam wayang misalnya: “Karna Tanding”, “Gandamana
Tundung”, dan “Sumantri Ngenger”, dalam ketoprak misalnya “Sampek-Intai”, dan dalam
drama-drama pada umumnya misalnya: “Romeo and Zuliet”,.
3.
Drama Komedi
Drama komedi, adalah drama yang
dalam alur perjalanannya itu serba lucu tidak sesuai dengan logika pikir, atau
kadang tidak kausalitas sebab akibat.
Drama ini jika happy, happy lucu (happy komedi), jika tragis, juga tragis lucu (tragis komedi).
Banyak contoh drama komedi ini, misalnya: “Charry Chaplin”, “Basio mBecak”,
“Dono-Kasino-Indro”, “Opera Van Java (OPJ) (Parta jadi dalangnya), ketoprak
humor, dan sebagainya.
Catatan
Ada beberapa catatan terhadap jenis
drama yang perlu disampaikan di sini, adalah sebagai berikut.
Pertama: bahwa selama ini drama lucu yang
tragis biasa disebut dengan istilah drama tragis komedi, tetapi drama lucu yang
happy tidak biasa disebut dengan
istilah drama happy komedi, walaupun
dalam kenyataannya baik drama tragis komedi maupun happy komedi itu sama-sama ada.
Kedua: dalam alur
perjalanannya sebuah drama, tidak ada
satu pun drama yang seluruhnya: awal sampai dengan akhir happyyy… terus, atau
tragiii….s terus, atau pula komediii.… terus, melainkan kadang-kadang happy, kadang-kadang tragis,
kadang-kadang komedi.
Ketiga drama tradisi khususnya wayang
kulit adalah sebuah drama yang suasananya paling lengkap: ada serius agung
(dalam adegan pertama atau jejeran),
ada komedi (dalam adegan gara-gara
panakawan), ada suasana tegang (dalam adegan perang Manyura), ada tragedi (dalam perang gagal), ada suasana happy
(dalam adegan tanceb Kayon) dan sebagainya.
Keempat
menjadi pikir
bersama termasuk “drama apakah” ketika negara Prancis kemudian membuat program
kehidupan yang berakhir dengan mati
ketawa dengan cara membuat peti mati dalam berbagai bentuk seperti: burung,
pesawat, manusia, dan sebagainya.
2.
Dari Sisi Keluasan Wilayah
Jenis drama dilihat dari sisi keluasan wilayahnya, ada
drama nasional, dan drama daerah. Tentang drama nasional dan drama daerah
tersebut diterangkan kemudian.
a.
Drama Nasional
Drama
nasional adalah drama yang dikenal oleh seluruh bangsa Indonesia, dan bahasanya
Indonesia. Drama nasional ini misalnya
adalah film dengan berbagai cerita seperti “Si Buta dari Goa Hantu”: tokohnya
Ratno Timur, “Nyi Blorong”: tokohnya Eva Arnas, teater cerita “Dhemit”, dan
lawak Srimulat tokohnya Gepeng, Jujuk. Untuk teater ini ada teater gandrik
milik Butet Kerta Rajasa, ada teater Gidhag-gidhig milik Indrawan dan Omi Intan
Naumi, ada Bengkel Teater milik Rendra, ada tater Koma, teater Kyai Kanjeng: MH
Ainun Najib.
b.
Drama Daerah
Drama daerah, adalah drama yang
hanya dikenal di lingkup daerah saja, dan bahasanya bahasa daerah. Drama daerah
ini misalnya ludrug: ceritanya seputar sosial atau kehidupan masyarakat,
berbahasa Jawa, dikenal dan di Jawa Timur, dan milik Jawa Timur pula. Ketoprak
ceritanya “Pak Sakera” dan babat (sejarah campur mitos), berhasa Jawa, di kenal
di Jawa Tengah dan milik Jawa Tengah pula. Dhagelan
ceritanya lucu, berbahasa jawa dikenal di Jawa/Yogyakarta. Mak Iyong ceritanya
seputar orang pembuat roti, berbahasa melayu dari Sumatra. Mamanda (asalnya dari kata pamanda),
ceritanya seputar kerajaan: ada tokoh pamanda Mangku Bumi, pamanda Wazir,
pamanda mentri, dan sebagainya. Mamanda berbahasa kalimantan, dari Kalimantan.
4.
Dari Sisi Banyak Sedikitnya Dialog
Jenis drama dilihat dari sisi banyak
sedikitnya dialog ada dua, yakni pertama:
drama dialog, dan kedua: drama
monolog. Tentang drama dialog dan drama
monolog ini akan diterangkan kemudian.
a.
Drama Dialog
Drama dialog (muhaddatsah), adalah drama percakapan yang dialognya dilakukan oleh
banyak orang sesuai dengan tokoh yang tampil.
Drama dialog ini misalnya: drama film, drama teater pada umumnya baik
nasional maupun tradisai. Teater
nasional misalnya teater Koma, Bengkel Teater, dan sebagainya. Teater tradisi
misalnya ketoprak, ludrug, dan sebagainya.
b.
Drama Monolog
Drama Monolog, adalah drama yang
dialognya dilakukan oleh satu orang saja walaupun dialog tersebut untuk banyak
tokoh. Drama monolog ini misalnya wayang, dalam hal ini dalang tampil berbagai
banyak tokoh seperti: Puntadewa, Werkudara, janaka, Duryudana, Sengkuni, dan
sebagainya. Selain itu juga ada monolog seperti dilakukan oleh Butet Kerta
Rajasa 2012 ketika di Yogyakarta dengan cerita Sarimin: kethek ogleng dengan nyanyiannya:
“Min-min
‘thog, Sarimin mulih ngendhog, dhoge sangalikur, digetak mabur-mabur, mabur
nyang ndharatan, teko ngomah nggo rebutan…..”.
“Min-min ‘thog, sarimin pulang
menelor, telornya dua sembilan, digertak malah terbang, terbang ke daratan,
sampai rumah ‘tuk rebutan”
Drama monolog seperti di sampaikan
tersebut merupakan sindiran terhadap suasana dan keadaan negara yang dianggap
penuh dengan kejahatan korupsi dan kesewenang-wenangan.
4.
Dari Sisi Fungsinya
Jenis drama dari sisi fungsi ada empat, pertama: drama itu sendiri,
kedua: sandiwara: ketiga:
sosiodrama, dan empat: drama satire.
Keempat drama tersebut selanjutnya akan diterangkan kemudian.
a.
Drama
Drama, berfungsi sebagai ungkapan estetis atau keindahan secara murni
belaka (keindahan material). Seperti
diketahui, bahwa drama itu asalnya dari negara barat, di mana negara barat itu
negara yang orientasi kehidupannya pada materi dan logika atau akal manusia. Oleh karena itu, pengertian estetikanya juga
pengertian estetika material, dan akal manusia belaka, maksunya bukan estetika
spiritual, moral, atau agama sebagaimana bangsa ini. Pengertian alur misalnya, untuk barat adalah
rentetan peristiwa sebab akibat, tetapi untuk bangsa ini alur tidak harus demikian,
bisa saja alur itu sebuah rentetan peristiwa yang surprise (tiba-tiba atau mengejutkan): sebuah rentetan peristiwa
yang tiba-tiba atau peristiwa ndelalah:
ngandel kersaning ngalah (percaya
pada Tuhan), atau peristiwa yang ujug-ujug:
ngerti-ngerti (tahu-tahu), mak bedunduk, dan sebagainya. Bahkan untuk bangsa ini seperti
wayang kulit purwa misalnya, tidak ada alur, yang ada hanyalah balungan, yakni sebuah rentetan
peristiwa dalam hal ini adegan yang ditata sedemikian rupa sebagai simbolisme
dari perjalanan hidup manusia mulai awal sampai dengan akhir: lahir sampai
dengan mati, sehingga banyak peristiwa-peristiwa surprise di dalamnya. Contoh balungan
ini misalnya: jejer, kemudian perang gagal, kemudian gara-gara, kemudiana perang kembang. Jejer simbolisme
manusia yang baru saja lahir tidak ada masalah, perang gagal simbolisme
dari gagalnya cita-cita, gara-gara
simbolisme huru-hara manusia, perang
kembang simbolisme manusia perang melawan nafsu.
Contoh alur sebab akibat itu misalnya dalam lakon “Dewa Ruci”. Dalam
lakon “Dewa Ruci, karena Bratasena masuk ke dalam hutan, sedang dalam hutan itu
ada raksasa yang karem mangsa daging
manungsa (senang makan daging manusia), maka ketika Bratasena sesudah
sampai di dalam hutan kemudian berperang melawan raksasa tersebut. Sedang
contoh balungan yang surprise itu
misalnya dalam lakon “Dewa Luar”. Dalam
lakon “Dewa Luar”, ketika Gatutkaca perang melawan Antarja seimbang tidak ada
yang kalah dan tidak ada menang, tiba-tiba datanglah Batara Narada memisahnya dan
memberi tahu kepada mereka bahwa masing-masing itu adalah Gatutkaca dan Antarja
kakak beradik yang tidak boleh berperang.
b.
Sandiwara
Sandiwara,
berfungsi sebagai pendidikan. Sandiwara
berfungsi sebagai pendidikan ini sesuai dengan asal kata dan arti sandiwara. Asal kata dan arti sandiwara, sandiwara itu
asalnya dari kata sandi dan wara atau warah (bahasa jawa). Sandi: rahasia, wara: berita, atau kalau warah:
ajaran. Jadi, maksud sandiwara itu
adalah ada kabar atau ajaran moral atau agama di balik sandiwara, atau ada
ajaran di balik sandiwara, Terhadap kenyataan fungsi drama itu, maka khususnya
wayang kulit purwa ada istilah dalam adegan terakhir yang disebut dengan
istilah “golekan” sebagai simbolisme
dari perintah dalang kepada penonton: “golekana liding dongeng”: carilah inti cerita,
yakni pesan moral atau agama selebihnya agar “sing apik nggonen, sing ala buangen”: yang baik amalkan, yang jelek
tinggalkan.
Perlu disampaikan, bahwa dalam perkembangan wayang kulit purwa untuk
sekarang ini seperti wayang sambung
misalnya, tidak saja menggunakan adegan golekan,
tetapi juga tasykilan, artinya
penonton diajak langsung untuk mengamalkan kebaikan baik moral maupun agama
sedemikian rupa dibimbing secara langsung oleh pikirmen-pikermen moral atau agama, layaknya konsep Sunan Kalijaga
ketika berdakwah agama dengan: “bari
gampil tanggapane among maos kalimat syahadat”: mudah sekali tanggapan-nya hanya dengan membaca
kalimat syahadat. Oleh karena itu
sudah sepantasnyalah jika dalang itu orang yang menunjukkan kebenaran moral
ataupun agama sesuai dengan arti kata dalang: dalla (bahasa Arab: petunjuk, atau jarwa dhosok dari kata ngudhal
piwulang: menguraikan ajaran).
c.
Sosiodrama
Sosiodrama, berfungsi sebagai persuasi sosial. Berfungsi sebagai persuasi
sosial, maksudnya berfungsi sebagai cara untuk memecahkan masalah-masalah
sosial seperti: kepadatan penduduk, kebanyak masalah anak, penyakit masyarakat,
dan sebagainya. Oleh karena demikian, maka sosiodrama ini misalnya film
“Transmigrasi”, film “Keluarga Berencana” (KB), film “Narkoba”. Perlu diketahui
karena masalah sosial itu adalah masalah Negara, maka selama ini film-film
tersebut banyak ditangani oleh Departen Sosial.
d.
Drama Satire
Drama satire, berfungsi sebagai
kritik atau masukan terhadap pemerintah yang
berkuasa. Seperti reog misalnya, adalah
drama satire yang sejarahnya mengkritik pemerintah Raja Hayam Wuruk ketika itu
(zaman Maja Pahit), di mana Raja Hayam Wuruk selalu dikendalikan oleh istrinya
Tri Buana Tungga Dewi. Oleh karena itu,
kesenian reog bentuknya kepala singa
yang ditunggangi oleh burung merak.
Kepala singa sebagai simbol daripada Raja Hayam Wuruk, sedang burung
merak sebagai simbol daripada istrinya Tri Buana tungga Dewi. Selain reog,
drama satire yang sering muncul sekarang ini adalah happening art di zaman orde
baru dalam bentuk teatrikal
jalanan. Happening art di zaman orde baru ini
juga berisi kritikan terhadap pemerintahan dalam hal ini Presiden Suharto, di
mana presiden Suharto menurut mereka juga seperti Hayam Wuruk, dikendalikan
oleh istrinya ibu Tien. Untuk Happening
art di zaman era orde baru ini
bentuknya adegan-adegan kesengsaraan rakyat karena merasa ditindas,
diperlakukan tidak adil, dan sebagainya. Happening
art sekarang tersebut bentuknya adegan-adegan kesengsaraan rakyat karena
Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, pajak naik, bahan-bahan pokok atau sembako naik,
dan sebagainya.
Tentang drama, sandiwara, sosiodrama dan drama satire tersebut sebenarnya
sama, yakni sama-sama yang digarap dalam bentuk drama, hanya titik beratnyalah
yang berbeda. Untuk drama titik beratnya pada estetika material, makhluk, dan
pikir logika, untuk sandiwara titik beratnya pada pendidikan spiritual, moral
dan agama, untuk sisiodrama titik beratnya pada persuasi sosial, sedang untuk
drama satire titik beratnya pada kritik pemerintah.
Khusus untuk drama dan sandiwara tersebut yang perlu disampaikan bahwa
masing-masing sesungguhnya juga mempunyai dasar logika, tetapi dasar logikanya
berbeda. Untuk drama dasar logikanya
manusia atau makhluk, sedang untuk sandiwara dasar logikanya Tuhan atau
pencipta.
5.
Dari Sisi Cara Dialognya
Dari sisi dialognya, drama itu ada yang pertama: ditembangkan, kedua:
didialogkan. Drama yang dialognya ditembangkan dan didialogkan itu akan
diterangkan kemudian.
a.
Dengan Cara Ditembangkan
Jenis
drama yang cara dialognya dengan cara ditembangkan, untuk Barat
disebut dengan istilah opera, sedang untuk Timur: Yogyakarta dan Surakarta
disebut dengan istilah “rambangan”.
Opera sebagai jenis drama dari barat yang dialognya dilakukan dengan cara
ditembangkan, diiringi musik seperti layaknya kentrung (ketoprak awal dari jawa
Timur sebelum sempurna seperti sekarang ini).
Opera tersebut kecuali dialognya dilakukan dengan cara ditembangkan,
juga dideklamasikan. Opera ini setiap tokohnya diback up dengan musik lengkap dengan pembagian suaranya: ada yang
bas, bariton, sopran dan meso sopran.
Oleh karena demikian, maka opera tersebut lebih diartikan sebagai
pertunjukan drama musik dan deklamasi.
Rambangan
sebagai jenis opera Jawa yang dialognya juga ditembangkan untuk Jawa ada dua,
yakni Langendriya dan Mandrawanara. Langendriya ini asalnya dari Surakarta,
mengambil cerita Minak “Jingga-Damar” Wulan dengan cerita: cilung, Enthit,
Jenggalamanik, dan masih ada lagi, sedang Mandrawanara dari Yogyakarta
mengambil cerita Ramayana. Khusus untuk Mandrawanara dari Yogyakarta tersebut
dilakukan dengan cara jongkok.
b.
Dengan Cara Didialogkan
Jenis drama yang dialognya dilakukan dengan cara didialogkan itu banyak
sekali, untuk drama pada umumnya ada
film, dan teater, sedang untuk tradisi ada ketoprak, ludrug, wayang orang, dan
masih banyak lagi. Khusus untuk ketoprak
dan wayang orang ada adegan tertentu yang biasa menggunakan rambangan yakni
pada bagian bage-binage (dialog awal
ketika baru bertemu), dan ketika akan perang tanding (perang satu lawan satu).
6.
Dari Sisi Cara Dialognya
Dari sisi kemajuannya, drama itu ada pertama:
drama tradisi, kedua: drama
kontenporer. Drama tradisi dan drama kontenporer itu akan diterangkan kemudian.
Drama
tradisi, disebut pula sandiwara. Drama tradisi ini disajikan secara konvensional, artinya disajikan sesuai
dengan kesapakatan-kesepakatan tuntunan atau pakem yang ada. Sedang drama kontenporer, disebut pula drama
modern. Drama kontenporer ini disajikan
secara modern, artinya disajikan dengan penuh dengan pembaharuan, dan memadukan
konsep timur dan barat, artinya memadukan konsep tuntunan atau pakem yang ada dengan konsep dramaturgi.
BAB
V
NASKAH
A.
Pengertian
Naskah dalam konteks perjalanannya
menjadi sebuah drama, naskah adalah cerita yang sudah ditulis, jika belum
namanya cerita. Jelasnya, kalau naskah
itu adalah cerita yang sudah ditulis, maka kalau naskah itu belum ditulis,
namanya cerita. Tentang naskah dan cerita tersebut akan di uraikan sebagai berikut
(Taylor, 1988:16).
Naskah
dalam konteks pengertian, itu bermacam-macam, dan terjadi khilafiyah atau perbedaan
pendapat antara orang satu dengan lainnya. Pengertian naskah itu, di antaranya
adalah sebagai berikut.
1.
Naskah,
adalah buku yang berisi lakon atau cerita untuk dipentaskan di atas panggung
sebagai drama (Depdikbud, 1984:25). Misalnya: naskah-naskah drama pada umumnya
seperti naskah: “Dom”, “rol”, dan sebagainya, atau naskah-naskah drama
pedalangan misalnya: “Pakem Makutharama”, “Dewaruci”, dan sebagainya.
2.
Naskah,
adalah karangan yang masih dalam tulisan tangan(Depdikbud, 1984:25). Karangan yang masih dalam tulisan tangan itu misalnya seluruh naskah-naskah lama
karena masih jarang atau bahkan tiadanya mesin tik atau kompiuter. Naskah
tulisan tangan itu misalnya: manuschript,
atau handschript, naskah
undang-undang dasar empat puluh lima (lihat yang masih dalam tulisan tangan).
3.
Naskah
adalah karangan apa pun baik tulisan maupun tik-tikan yang masih asli belum
diterbitkan (Depdikbud, 1984:25). Pengertian naskah sebagai karangan apa pun
baik tulisan maupun tik-tikan yang masih asli belum diterbitkan ini mempunyai
tendensi murni, artinya belum ditambah-tambah oleh maksud lain. Pengertian
naskah itu maka mempunyai tendensi murni, karena kalau sudah diterbitkan,
penerbit itu tendensinya adalah keuntungan material, hingga kalau sudah
diterbitkan maknanya sudah ditambah-tambah dan tidak sesuai dengan konsep
penulis. Naskah dalam pengertian murni
tersebut penerbit sangat keberatan, karena berdampak pada keberlangsungan hidup
penerbit, artinya pengertian tersebut akan menjadikan penerbit tidak laku.
4.
Naskah
adalah bahan-bahan berita yang sudah siap di setting, dicetak, atau diterbitkan menjadi majalah, buku atau Koran
Kr, 2003:7). Pengertian naskah sebagai bahan-bahan berita yang sudah siap di setting, dicetak, atau diterbitkan menjadi majalah, buku, atau koran ini berlaku
di kalangan perss.
5.
Naskah
adalah rancangan yang masih berujut konsep atau “orek-orekan” (Depdikbud,
1984:25). Pengertian naskah adalah rancangan yang masih berujut konsep atau
orek-orekan ini misalnya: naskah Linggar
Jati, Naskah Meja Bundar, Naskah Hudaibiyah, dan naskah Daumatul jandal.
Naskah dalam pembicaraan ini akan
lebih tepat diarahkan pada pengertian pertama, yakni buku yang berisi lakon
atau cerita untuk dipentaskan di atas panggung sebagai drama.
Naskah dalam pengertian buku yang
berisi lakon atau cerita untuk dipentaskan di atas panggung sebagai drama ini
memberikan penjelasan arti disebaliknya. Jelasnya buku tersebut jika belum
dipentaskan disebut naskah, jika sudah disebut drama.
Naskah-naskah dalam bentuk buku ini
banyak sekali, misalnya: naskah “Malam Jahanam”, “Semar Gugat”, “Leng”, “Rol”,
dan “Dom”, seluruhnya karya Bambang Wijanarko tahun 1995, diterbitkan oleh
Sekolah Tinggi Seni Indonesisa (STSI) Surakarta. Selain naskah-naskah tersebut, khusus naskah
pedalangan adalah naskah “Pakem Makutharama” oleh Kasidi, naskah “Gandamana
Tundhung” oleh Sukatno, dan masih banyak lagi tidak disebutkan di sini.
Melihat
naskah sampai dengan drama tersebut,
berjalan mulai dari masih dalam bentuk yang tidak tampak, sampai dengan
bentuk perilaku. Mulai dari bentuk yang tidak tampak sampai
dengan bentuk perilaku itu adalah: 1. ide, 2. konsep, 3. naskah, 4. skenario, dan 5. terakhir adalah drama. Tentang
pengertian dari ide, konsep, buku atau naskah, skenario dan drama tersebut akan
diterangkan lebih lanjut.
1.
Ide
adalah gagasan, masih dalam angan-angan atau pikir tempatnya di kepala manusia,
jadi bersifat abstrak atau tidak kelihatan (Depdikbud, 1984:36).
2.
Konsep,
adalah ide yang sudah dituangkan dalam bentuk tulisan, tetapi masih harus
dibenahi lagi, karena masih jelek, artinya masih dalam bentuk orek-orekan
(Depdikbud, 1984:36).
3.
Naskah,
adalah konsep yang sudah berbentuk buku, artinya sudah dibenahi. Meskipun sudah
dibenahi, tetapi belum ada narasi atau petunjuk bagaimana cara mementaskannya,
jadi masih dalam bentuk dominasi dialog antar tokoh (Depdikbud, 1984:36).
4.
Skenario,
adalah buku atau naskah yang sudah jadi, dan sudah diberi narasi atau petunjuk
tentang bagaimana cara mementaskannya. Jadi skenario ini adalah di antara
tulisan yang paling lengkap (Depdikbud, 1984:36).
5.
Drama,
adalah naskah yang sudah di pentaskan di atas panggung, hingga drama tersebut
bisa dilihat, didengar, dan dirasakan, karena ada unsur barang, dan suaranya
(Depdikbud, 1984:36).
Naskah
Drama
Naskah drama, tujuannya adalah untuk
dipentaskan. Karena tujuannya untuk dipentaskan, maka kebutuhan akan panggung
mutlak harus ada dan dibuat baik sedemikian rupa. Bahasa dialog yang digunakan adalah bahasa
sehari-hari, watak tokoh tidak dijelaskan, penulisan seperti nama tokoh hanya
bisa di atas atau di pinggir dialog, dan tidak ada warna nada. Naskah drama bisa dilihat sebagaimana contoh
berikut:
Gambleh:
Perhatian …. perhatian …., penonton
diharap diam !. sekarang wayang akan main lagi. Dhog-dhog cek dhendlang.
Mbok Jiah:
Hla
terusna le ….., terusna. Hla janakane
endi le ?
Gambleh:
Kosik
mbok, kosik !. wong bagus ki larang regane. Nganggo jual mahal.
(Rol, Bambang Widoyo,
1998:7)
Naskah
drama, dalam pembuatannya haruslah mencerminkan adanya watak tokoh, adegan dan
konflik, dan bagian-bagian penting seperti eksposisi atau perkenalan,
komplikasi atau permulaan masalah, klimaks atau masalah puncak, anti klimakas
atau masalah menurun, resolusi atau penyelesaian, dan kongklusi atau kesimpulan.
A.
Perbedaannya Naskah Drama dengan
Naskah-Naskah Lain
Naskah drama yang perlu diketahui di
sini, adalah perbedaannya dengan naskah-naskah lainnya seperti naskah novel
atau roman, naskah puisi, dan naskah drama bacaan.
Perbedaan naskah drama dengan
naskah-naskah lainnya tersebut adalah meliputi: pertama tujuannya, kedua kebutuhan
akan panggung, ketiga bahasa dialog
yang digunakan, keempat ada tidaknya narasi, kelima pelukisan watak
tokoh, keenam teknik letak penulisan
nama tokoh, dan kelima warna nada
tulisan.
Perbedaan naskah drama dengan
naskah-naskah lainnya, kalau naskah
drama mengenai tujuan, kebutuhan akan panggung, bahasa dialog yang digunakan,
narasi, pelukisan watak tokoh, teknik
letak penulisan nama tokoh, dan warna nada tulisan seperti telah diterangkan,
untuk naskah-naskah lainnya diterangkan sebagai berikut.
Naskah novel atau roman, tujuannya
adalah untuk dibaca, kebutuhan akan panggung tidak ada. Bahasa dialog yang digunakan adalah bahasa
prosa dan prosa liris, narasinya sangat dominan, watak dijelaskan, penulisan
seperti nama bisa di pinggir kiri, di tengah, di pinggir kanan, dan ada warna
nada, bahkan memang sudah dibuat sedemikian rupa: nada susah, gembira, cinta,
dan sebagainya. Naskah novel atau roman bisa dilihat sebagaimana contoh
berikut:
Karyamin melangkah pelan, dan sangat
hati-hati. Beban yang menekan pundaknya
adalah pikulan yang digantung dua keranjang batu kali”.
(Senyum Karyamin,
Ahmat Thohari, 1989: 2).
Sudah Min, pulanglah, ku kira hatimu
tertinggal di rumah, sehingga hatimu loyo terus kata Sarji yang diam-diam iri
pada istri Karyamin yang masih muda dan gemuk.
(Senyum Karyamin, Ahmat Thohari, 1989:
2).
Naskah puisi, tujuannya adalah untuk
dideklamasikan, kebutuhan akan panggung ada tetapi sederhana. Bahasa yang digunakan adalah bahasa puitis
atau bahasa sajak, tidak ada narasi, tidak ada teknik penulisan nama tokoh, ada
warna nada (sedih). Naskah puisi bisa dilihat sebagaimana contoh berikut.
Boneka tak berkaki
Menepi di denyut alir
Tatapnya menyeru
Diamnya mencari
Lengan mungil berlumpur
Menepi dihentak alir
Diamnya merindu
Pedihnya mencari
Kawan kecil yang dulu bersama
(Kenangan akan Zubaidah, Medi
Loekito, 2009:84)
Naskah drama bacaan atau komik,
tujuannya adalah untuk dibaca, tidak butuh panggung. Bahasa dialog yang digunakan adalah bahasa
sehari-hari, dialognya ada sedikit, narasinya berbentuk gambar kecuali jika
sulit biasa diungkapkan dengan bahasa, watak tokoh tidak dijelaskan, nada
tulisan tidak ada, panggung tidak ada, penulisan nama tokoh tidak dijelaskan,
panggung tidak ada, (sudah nempel dengan
gambar tokoh). Naskah drama bacaan bisa dilihat sebagaimana contoh berikut.
Gambar: Edi Erianto, 2013,
dalam “Mandiri Pangan”: Kedaulatan rakyat, 2013: 9
Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan antara naskah
drama, naskah roman, naskah puisi, dan naskah bacaan tersebut, bisa dilihat
dalam tabel seperti berikut.
Perbedaan naskah drama dengan
naskah-naskah lainnya:
Jenis naskah
|
Tujuan
|
Bahasanya
|
Dialognya
|
Narasinya
|
Watak tokoh
|
Panggung
|
Teknik penulisan
|
Nada tulisan
|
Drama
|
Untuk dipentaskan
|
Sehari-hari
|
Ada dan sangat dominan
|
Tidak ada
|
Tidak diterangkan
|
Mutlak harusada
|
Nama tokoh di pinggir
|
Tidak ada
|
Roman/novel
|
Untuk dibaca
|
Campuran: bahasa sehari-hari dan bahasa puisi
|
Ada sedikit
|
Ada dan dominan
|
diterangkan
|
Tidak dibutuhkan—bisa dibaca di bawah pohon
|
Nama tokoh bisa di depan, di belakang, atau di tengah
|
Sudah dibuat sedemikianrupa sedih, gembira,
|
Puisi
|
Untuk dideklamasikan
|
Puisi sajak ab-ab
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Dibutuhkan tetapi sederhana
|
Tidak ada nama tokoh dan dialog
|
Sedih, gembira, dan lain-lain
|
Drama Bacaan
|
Untuk dibaca
|
Sehari-hari
|
Dominasi bahasa dan gambar
|
Ada sedikit
|
Tidak diterangkan
|
Tidak dibutuhkan
|
gambar
|
Tidak dibicarakan
|
BAB
VI
CERITA
A.
Pengertian
Cerita, adalah bahan yang digarap
menjadi sebuah drama. Oleh karena itu,
cerita tersebut kedudukannya sangat penting, karena sangat esensi hingga
menjadi sebuah hukum yang harus ada.
Cerita dalam pengertian masyarakat
Jawa menurut Bambang Murtiyoso (2000:17) juga disebut dengan istilah
lakon. Lakon tersebut selanjutnya
mempunyai pengertian judul, tokoh, dan alur. Lakon yang selanjutnya mempunyai
pengertian judul, tokoh, dan alur tersebut tercermin dalam pertanyaannya: “apa lakone ?” (apa ceritanya), “sapa lakone ?” (siapa ceritanya ?), dan
“piye lakone ?” (bagaimana ceritanya
?).
Pertanyaan “apa lakone ?” menunjuk pada pengertian judul, “sapa lakone ?“ menunjuk pada pengertian tokoh, dan “piye lakone ?” menunjuk pada pengertian alur.
Pertanyaan “sapa lakone ?” menunjuk pada pengertian judul ini jawabannya tentu
saja misalnya: “Gathutkaca Lair”, “Wahyu Makutharama”, “Dewaruci”, dan
sebagainya.
Pertanyaan “sapa lakone ?“ menunjuk pada pengertian tokoh ini jawabannya tentu
saja misalnya: Bratasena, Janaka, Puntadewa, Nakula, Sadewa, dan sebagainya.
Pertanyaan “piye lakone ?” menunjuk pada
pengertian alur ini jawabannya tentu saja misanya: setelah jejer pertama: adegan Ngamarta Prabu Puntadewa dihadap oleh
Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa, kemudian adegan kedua yakni Kurawa:
Duryudana dihadap oleh Patih Sengkuni, Pandita Durna, Adipati Karna. Setelah adegan kedua ini kemudian dilanjutkan
perang gagal, dan seterusnya.
Cerita menurut Aristoteles dalam
Becker (1979:115), khusus fiksi adalah tiruan dari sebuah aksi. Lebih lanjut
menurut Aristoteles tersebut, cerita yang baik itu adalah cerita yang pertama jelas, kedua logis dan ketiga ada
intinya. Cerita yang jelas logis dan dan intinya tersebut sesuai dengan konsep
cerita yang baik menurut masyarakat jawa: cucut, mungguh, dan wos. Cucut: jelas, mungguh: logis, dan wos: ada intinya.
A.
Unsur Cerita
Cerita mempunyai unsur-unsur yang
penting untuk diketahui. Unsur cerita tersebut adalah: 1. judul, 2. tema, 3.
topik, 4. pesan, 5. alur, 6. tokoh, dan 7. setting,
Tentang unsur cerita tersebut akan dibicarakan lebih lanjut.
1.
Judul
Judul, adalah kepala karangan dari
sebuah cerita. Judul, ibarat cerita sebagai keseluruhan daripada tubuh manusia,
adalah kepalanya. Jadi, judul ini sangat-sangat penting, dan harus ada hingga
menjadi sebuah hukum dan bukan konvensi lagi.
Judul, karena sebagai kepala dari
sebuah karangan cerita, maka harus disebutkan paling awal, terlebih dengan
judul dalam sebuah naskah drama, harus diletakkan dalam sampul depan.
Judul dari sisi pembuatannya, bisa
awal, bisa pula akhir, atau bahkan bisa tengah.
Bisa awal artinya bisa sebelum membuat cerita, bisa akhir artinya bisa
setelah membuat cerita, dan bisa tengah artinya bisa dibuat sambil
jalan—menurut inspirasinya.
Judul, dari sisi pemilihan
kata-katanya bisa diambil dari mana saja: dari nama tokoh yang paling penting
dalam sebuah cerita, nama tempat, nama barang, nama suasana, atau campuran dari
nama tokoh, tempat dan suasana tersebut. Judul diambil dari nama tokoh paling
penting dalam cerita, misalnya: “Romeo dan Zuliet”, “Sampek Intai”, “Dewaruci”,
“Jagalabilawa”, dan sebagainya. Judul diambil dari nama tempat, misalnya:
“Danau Toba”, “Tangkuban Perahu”, “Wana Marta”, “Suwelagiri”, dan sebagainya.
Judul diambil dari nama barang, misalnya: “Cupu Manik Astagina”, “Payung
Tunggul naga”, “Keris Naga Sasra”, dan sebagainya. Judul diambil dari suasana, misalnya: “Ontran-ontran Wiratha”,
“Kabut Ngastina”, dan sebagainya. Judul campuran, misalnya: “Gatutkaca Lair”,
“Pandawa Dhadu”, “Jagalabilawa”, dan sebagainya.
Judul dari sisi kejelasannya bisa
jelas bisa tidak. Bisa jelas, artinya bisa membayangkan isi, sesuai tema dan
topiknya, sedang bisa tidak artinya bisa tidak membayangkan isi, termasuk pula
tidak bisa membayangkan tema dan topiknya.
Contoh judul yang bisa membayangkan
isi itu misalnya: ”Romeo dan Zuliet”, “Sampek Intai”, “Si Buta dari Goa Hantu”,
dan sebagainya. Judul-judul tersebut artinya sesuai dengan isinya: ”Romeo dan
Zuliet” isinya tentang tokoh Romeo dan Zuliet, “Sampek Intai” isinya juga tokoh
Sampek dan Intai, demikian juga “Si Buta dari Gua Hantu” isinya adalah tokoh
buta datang dari Gua hantu.
Contoh judul yang tidak bisa
membayangkan isi itu misalnya: ”Kabut Sutra Ungu”, “Embun Di Pagi hari”,
“Leng”, “Rol”, “Dom” dan sebagainya. Judul-judul tersebut artinya tidak sesuai
dengan isinya: ”Kabut Sutra Ungu” isinya tentang huru-Hara dalam sebuah rumah
tangga orang kaya, dan tidak ada kabutny apa lagi warnanya yang sutra ungu
tersebut. “Embung Di pagi Hari” isinya tentang rumah tanggah miskin tetapi
damai dalam kesatuah hati yang utuh, dan tidak ada embunnya. “Leng” isinya
tentang masyarakat pinggiran yang semakin terpinggirkan, “Rol” isinya tentang
kehidupan manusia yang berbah-ubah, “dom”, isinya tentang kegagalan orang
miskin dalam menggapai sebuah cita-cita.
Perlu disampaikan di sini judul
sebagai cerita seni bedanya dengan judul sebagai karya ilmiah seperti,
penelitian, skripsi, tesis, desertasi, kalau judul sebagai cerita seni bisa
tidak jelas atau tidak membayangkan isi, tetapi kalau judul sebagai karya
ilmiyah harus jelas, dan ringkas atau padat. Jelas maksudnya harus bisa membayangkan
isi dan tidak boleh ambigu atau mengundang multi tafsir, ringkas atau padat
maksudnya boleh empat kata, tetapi tidak lebih dari delapan kata.
2.
Tema
Tema, biasa disebut juga dengan
istilah premis. Pengertian tema yang bisa disampaikan di sini, antara lain
adalah sebagai berikut.
a.
Tema,
adalah arti pusat dari sebuah cerita (Imam B. U dalam Widyaparwa, no 39,
Oktober, 1992: 26).
b.
Tema,
adalah gagasan pokok pikiran yang digunakan sebagai landasan untuk
mengungkapkan sebuah lakon drama, hingga menjadi jiwa di dalamnya (Tailer dalam
Sutrisno, 1981:12).
c.
Tema,
adalah sebuah proporsi yang digambarkan sedemikian rupa untuk mengarah pada
suatu kesimpulan tertentu dari sebuah cerita lakon atau drama (Taylor dalam
Sutrisno, 1981:12).
d.
Tema,
adalah keseluruhan cerita mulai awal sampai dengan akhir serta kejadian dan
aspek-aspek yang diangkat oleh penulis atau pengarang dalam sebuah lakon
(keterangan Sumaryadi).
e.
Tema,
adalah keseluruhan dari sebuah lakon atau drama, yang pada akhirnya bermuara
pada sebuah pertanyaan: “what the write
?”: apa yang hendak ditulis ?; yang hendak diungkapkan oleh pengarang lakon
atau drama, itulah tema (keterangan Suparjo).
f.
Tema
adalah gagasan pokok pikiran, rumusan, intisari, dasar, atau jiwa dari sebuah
lakon drama mulai awal sampai dengan akhir.
Oleh karena demikian pengertian tema, maka tema tersebut sifatnya
mengikat, dan menjadi pedomanpada waktu mengarang sebuah lakon drama (Imam B. U
dalam Widyaparwa, no. 39, 1992: 26).
Tema, perlu dibandingkan dengan
judul. Tema dibandingkan dengan judul, ibarat ruh dan jasatnya. Tema itu
ruhnya, judul itu jasatnya. Oleh karena
tema itu ruhnya sedang judul itu jasadnya, maka tema itu menggerakkan judul
sebagaimana ruh itu menggerakkan jasad.
Tema, bisa ditemukan berdasar: 1.
Melihat permasalahan yang paling menonjol, 2. Paling banyak menimbulkan
peristiwa konflik, 3. Paling banyak waktu penceritaannya. Istilah tema,
lazimnya diungkapkan satu kata, misalnya: tema “kepahlawanan”, tema
“kesetiaan”, tema “keserakahan”, dan sebagainya.
Tema-tema yang menarik orang umum
itu banyak sekali, di antaranya adalah tema kepahlawanan, tema percintaan, tema
lucu, dan tema serius. Tema-tema selain yang telah disebutkan, menarik tidaknya
tergantung dari umur dan pengetahuan penonton (Taylor dalam Sutrisno, 1981:42).
Tema bisa dilihat dari sisi
kepentingannya, dan dari sisi sumbernya.
a.
Tema dari Sisi Kepentingannya
Tema
dilihat dari sisi kepentingannya, tema ada dua, pertama: tema pokok, kedua tema pendukung. Tentang tema pokok dan tema pendukung ini
selanjutnya akan dibicarakan lebih lanjut.
1).
Tema Pokok
Tema
pokok biasa pula disebut dengan istilah tema mayor, tema primer, tema utama,
dan tema besar. Tema pokok, adalah tema
yang melingkupi seluruh cerita awal sampai dengan akhir. Banyak tema pokok dalam sebuah lakon ini,
misalnya tema kepahlawanan, tema kesetiaan, dan tema balas budi. Tema kepahlawanan terdapat dalam wayang kulit
purwa lakon “Kumbakarna Gugur”, tema kesetiaan dalam lakon “Sumantri Ngenger”,
dan tema balas budi dalam lakon “Karna Tanding”.
2).
Tema Pendukung
Tema
pendukung biasa pula disebut dengan istilah tema minor, tema skunder, sub tema,
dan tema kecil. Tema pendukung adalah
tema yang muncul sebagai pendukung tema pokok. Tema pendukung ini muncul dalam
setiap adegan.
Tema, yang perlu diketahui adalah
tentang perjalanannya. Tentang
perjalanannya, tema seperti kepahlawanan misalnya, tidak kemudian awal sampai
akhir tema kepahlawanaa.…n terus, tetapi juga ada tema-tema lain yang muncul
bahkan dalam setiap adegan—mungkin tema percintaan, tema keserakahan, tema
kesengsaraan, dan sebagainya.
Bagaimanapun tema lain itu,
seluruhnya mendukung terciptanya tema pokok.
b.
Tema dari Sisi Sumbernya
Tema dilihat dari sisi sumbernya, tema
ada tiga: pertama: tema ke-Tuhanan, kedua:
tema kemanusiaan, dan ketiga:
tema alam. Tentang ketiga tema tersebut akan dijelaskan lebih lanjut.
1).
Tema Ke-Tuhanan
Tema ke-Tuhanan, adalah tema tentang
Tuhan. Maksudnya Tuhan tersebut sebagai
gagasan pokok yang melandasi seluruh cerita yang ada. Tema Ke-Tuhanan ini misalnya: “Lautan Jilbab”
(sudah sering ditampilkan menjadi sebuah drama). “Lautan Jilbab”, adalah cerita wanita yang
atas kepahamannya terhadap Tuhan kemudian timbol ketaatannya terhadap
perintah-Nya untuk memakai jilbab. Selain itu juga ada: “orang-orang Pencari
Tuhan”, “Kiamat Sudah Dekat”, yang kedua judul tersebut sering tampilkan di
Telivisi.
2).
Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaan, adalah tema
tentang manusia. Maksudnya manusia tersebut
sebagai gagasan pokok yang melandasi seluruh cerita yang ada. Tema kemanusiaan ini misalnya: “Narkoba”
(sering ditampilkan menjadi drama terutama di Telivisi). “Narkoba”, adalah cerita orang yang terjerat
oleh masalah narkoba bahkan sampai dengan masuk penjara dan mati di dalamnya.
Selain itu juga ada: “Transmigrasi”, dan “Keluarga Berencana”, yang kedua judul
tersebut sering tampilkan di Telivisi juga bahkan di desa-desa dengan layar
tancap.
3).
Tema Alam
Tema alam, adalah tema tentang alam.
Maksudnya alam tersebut sebagai gagasan
pokok yang melandasi seluruh cerita yang ada.
Tema alam ini misalnya: “Indahnya Panorama” (sudah sering ditampilkan
menjadi sebuah drama). “Indahnya
Panorama”, adalah cerita alam yang karena keindahannya kemudian dilestarikan
oleh manusia. Selain itu juga ada: “Misteri Gunung Merapi”, yang judul tersebut
sering ditampilkan di tempat wisata Ketep gunung Merapi.
3.
Topik
Topik, asalnya dari kata to pai (bahas Inggris) (Depdikbud,
1984:7). To pay artinya daerah,
tempat, atau wilayah. Dalam konteks ini, daerah atau tempat tersebut berarti
daerah, tempat atau wilayah permasalahan.
Topik ini bisa bersifat daerah, sosial, jiwa, dan sebagainya. Topik ini misalnya:
Yogyakarta (daerah), masyarakat suku Dayak (sosial), keraguan (jiwa), dan
sebagainya.
Topik biasa oleh banyak orang disamakan
dengan tema, tetapi sesungguhnya berbeda.
Topik itu seperti diterangkan artinya adalah daerah, dalam arti daerah
itu sendiri, atau tempat, atau wilayah.
Tetapi daerah itu juga bisa daerah dalam arti daerah sosial, dan jiwa.
Adapun tema, adalah gagasan pokok yang melandasi seluruh cerita lakon atau
drama. Oleh karena demikian perbedaan
antara topik dan tema, maka bisa sebuah drama itu bertemakan pahlawan dalam
topik remaja, atau bisa juga drama itu bertemakan kesetiaan dalam topik rumah
tangga, dan sebagainya.
4.
Pesan
Pesan atau massage, adalah ajaran moral, agama, politik dan sebagainya yang
terdapat dalam sebuah drama. Karena
pesan tersebut adalah ajaran moral, agama, atau politik, maka pesan tersebut
bersifat ajakan untuk dilakukan.
Ajaran moral sebagai pesan dalam
sebuah drama itu banyak sekali, misalnya berbakti kepada orang tua, menghormati
kepada yang lebih tua, kasih sayang kepada yang lebih muda, menghargai kepada
sesama. Ajaran agama sebagai pesan dalam sebuah drama itu juga banyak sekali,
misalnya: pentingnya shalat, pentingnya puasa, pentingnya zakat, dan
sebagainya, begitu pun ajaran politik juga banyak misalnya pentingnya
demokrasi, menghargai pendapat, dan sebagainya.
a.
Cara Menyampaikan Pesan
Cara menyampaikan pesan atau ajaran
dalam sebuah drama itu ada beberapa macam, di antaranya adalah tersurat dan
tersirat, ada pula verbal dan non verbal, dan dalam masyarakat Jawa adalah methok, medhang miring, dan nyampar pikoleh. Cara menyampaikan pesan
atau ajaran dalam sebuah drama tersebut selanjutkan diterangkan lebih lanjut.
1).
Tersurat dan Tersirat
Tersurat bisa pula disebut dengan
langsung. Tersurat atau langsung maksudnya adalah menyampaikan pesan dengan
cara terang-terangan. Pesan yang disampaikan dengan cara terang-terangan
tersebut langsung bisa dimengerti oleh penonton, tanpa penonton itu menafsir
atau menerjemah lebih dulu. Contoh pesan tersurat ini misalnya: ketika sebuah
drama hendak menyampaikan pentingnya bersatu, langsung dalam drama itu kemudian
salah satu di antara tokohnya mengutip statement
atau ayat ketetapannya: “bersatulah kamu, sebab bersatu kita teguh bercerai
kita runtuh”. Contoh lain ketika sebuah drama hendak menyampaikan pentingnya anak
taat kepada orang tua, langsung salah satu di antara tokohnya mengutip statemen
atau ayat: “taatlah kamu kepada orang tua, karena sorga itu di bawah telapak
kaki ibu”, dan sebagainya.
Tersirat bisa pula disebut dengan
istilah tidak langsung. Tersirat atau
tidak langsung, maksudnya adalah menyampaikan pesan dengan cara tersembunyi. Pesan
yang disampaikan dengan cara tersembunyi tersebut tidak bisa langsung
dimengerti oleh penonton. Pesan tersebut untuk bisa dimengerti oleh penonton,
penonton harus mentafsir atau menterjemahkan lebih dulu. Contoh pesan tersirat
ini misalnya: ketika sebuah drama hendak menyampaikan pentingnya sifat jujur, drama
tersebut menampilkan adegan tokoh jujur di tengah-tengah keserakahan tokoh lain,
yang akhirnya karena kejujuran dari tokoh tersebut kemudian tokoh tersebut diangkat
menjadi pejabat besar.
2).
Verbal dan Non Verbal
Verbal maksudnya adalah menyampaikan
pesan dengan cara lesan, hingga sifatnya lebih mudah untuk bisa dimengerti.
Contoh pesan tersurat ini misalnya: ketika sebuah drama hendak menyampaikan
pentingnyabela negara, maka langsung dalam drama itu kemudian salah satu di
antara tokohnya mengatakan dengan bahasa lesan: “membela Negara adalah setengah
daripada iman”..
Non verbal, maksudnya adalah
menyampaikan pesan dengan cara isyarat hingga harus ditafsir lebih dulu, karena
belum bisa dimengerti. Contoh pesan tersirat ini misalnya: ketika sebuah drama
hendak menyampaikan pentingnya menjaga lingkungan, maka drama itu kemudian
menampilkan adegan alam yang karena sampah menumpuk di sembarang tempat kemudian
banjir di mana-mana.
3).
Methok dan Medhang Miring
Methok sama dengan tersurat atau langsung.
Methok, tersurat atau langsung ini
maksudnya adalah menyampaikan pesan dengan cara terang-terangan. Pesan yang
disampaikan dengan cara terang-terangan tersebut langsung bisa dimengerti oleh
penonton, tanpa penonton itu menafsir atau menerjemah lebih dulu. Contoh pesan
tersurat ini misalnya: ketika sebuah drama hendak menyampaikan pentingnya sabar
menghadapi masalah, langsung dalam drama itu kemudian salah satu di antara
tokohnya mengutip ayat: “bersabarlah karena bersabar disayang Tuhan”. Contoh
lain ketika sebuah drama hendak menyampaikan pentingnya persaudaraan, langsung
salah satu di antara tokohnya mengutip ayat: “bersaudaralah kamu sekalian seperti
satu tubuh, jika sebagian sakit, bagian lain ikut merasakan”.
Medhang
miring sama dengan
tersirat atau tidak langsung. Medhang
miring, tersirat atau tidak langsung ini
maksudnya adalah menyampaikan pesan dengan cara tersembunyi. Pesan yang
disampaikan dengan cara tersembunyi tersebut tidak bisa langsung dimengerti
oleh penonton. Untuk bisa dimengerti oleh penonton, penonton harus menafsir
atau menerjemahkan lebih dulu. Contoh pesan tersirat ini misalnya: ketika
sebuah drama hendak menyampaikan pentingnya anak taat kepada orang tua, drama
tersebut hanya mengutip terjemahan dari ayat: “surge di bawah telapak kaki ibu”.
Contoh lain ketika sebuah drama hendak menyampaikan pentingnya berlaku adil,
drama tersebut hanya mengutip terjemahan dari ayat yang mengatakan bahwa Tuhan
itu berlaku adil kepada makhluknya.
Nyampar
pikoleh adalah
menyampaikan ajaran secara lebih tersembunyi lagi dibanding dengan medhang miring. Nyampar pikoleh ini jangankan langsung bisa diterima, ditafsir pun
juga tidak gampang. Jadi pesan nyampar pikoleh ini hanya
bisa dimengerti penonton jika ditanyakan lebih dulu kepada orang yang
memberikan pesan. Nyampar pikoleh ini
miasalnya: ketika hendak menyampaikan ajaran tentang pentingnya dakwah, dalam
sajian wayang kulit purwa ada wayang
Wali yang muncul. Terhadap muncunya wayang Wali itu penonton tidak tahu, apa
maksud sebenarnya wayang Wali itu. Setelah ditanyakan kepada dalang, ternyata
maksud wayang Wali itu adalah agar penonton melakukan dakwah seperti para Wali.
b.
Cara Mengajak Melakukan Pesan
Cara mengajak melakukan pesan, ini
penting untuk disampaikan, sebab seperti telah diterangkan bahwa pesan itu
berisi ajaran, sedang ajaran itu disampaikan maksudnya adalah untuk dilakukan
hingga pesan itu lebih bersigfat ajakan.
Cara mengajak melakukan pesan dalam sebuah drama itu itu ada dua pertama dengan cara simbolisme, kedua dengan cara terang-terangan.
1).
Dengan Cara Simbolisme
Mengajak dengan cara simbolisme,
seperti bisa ditemukan dalam drama tradisi pertunjukan wayang kulit purwa
dengan apa yang disebut istilah golekan. Golekan
ini bentuknya boneka manusia
menari. Golekan asalnya dari kata golek:
mencari (bahasa jawa), sebagai simbol dari cara dalang mengajak kepada publik
untuk mencari ajaran yang baik selanjutnya untuk dilakukan, dan yang jelek di
tinggalkan. Jadi, golekan itu sebuah
perintah “golekana wosing crita, sing apik amalna sing ala buangen
!”: carilah inti cerita yang baik
lakukan yang jelek buanglah.
Dengan cara simbolisme ini juga
terdapat dalam tari Jawa bentuknya seperti misanya: gerak ngrangkul, dan sebak sampur. Gerak ngrangkul
itu artinya agar publik melakukan ajaran
kebaikan, dan seblak sampur itu
artinya agar publik membuang kejahatan.
2).
Dengan Cara Terang-Terangan
Mengajak dengan cara
terang-terangan, tidak ditemukan dalam drama apa pun baik tradisi maupun modern,
tetapi bisa mengadopsi dalam usaha dakwah dengan apa yang disebut tasykilan. Tasykilan, asalnya dari kata tasykil
artinya membentuk (bahasa Arab). Tasykilan
ini bentuknya mengajak secara langsung
atau terang-terangan kepada publik untuk melakukan ajaran seperti
disampaikan, bahkan dibimbing atau dituntun secara langsung bagaimana cara
mengerjakannya.
Mengajak dengan cara terang-terangan
ini bukanlah barang jadi, artinya langsung dilakukan begitu saja, tetapi
melihat kesiapan publik. Artinya, sekiranya publik itu sudah siap diajak secara
terang-terangan atau istilahnya siap di-tasyikil¸
maka ajakan secara terang-terangan itu dilakukan. Tetapi sekiranya tidak atau belum siap, maka
dilakukan secara bertahap. Dilakukan secara bertahap itu mulai dari awal: tahap
ta’aruf, ta’alluf, targhib, tasykil,
terakhir takhruj.
Ta’aruf
artinya perkenalan (bahasa Arab), maksudnya
sebelum mengajak secara langsung, melakukan perkenalan terlebih dulu, sehingga ta’aruf ini tidak mengajak baik secara
langsung ataupun tidak.
Ta’alluf
artinya satu hati (bahasa Araf). Maksudnya dalam perjalanan dakwahnya setelah ta’aruf kemudian ada kesatuan hati jauh
dari rasa curiga, adapun tanda-tandanya adalah publik sudah taat atau dalam
bahasa Jawanya manut-mirurut.
Targhib
artinya semangat (bahasa Arab). Maksudnya
setelah ada kesatuan hati antara da’I dan sasarannya kemudian da’I memberikan
semangat amal dengan cara menyampaikan keuntungannya jika beramal, dan
kerugiannya jika tidak.
Tasykil, artinya membentuk (bahasa Arab).
Setelah berhasil melalui tiga tahap: ta’aruf,
targhib, dan ta’alluf tersebut,
maka jatuhlah pada keputusan tasykil,
artinya membentuk (bahasa Arab).
Tasykil, maksudnya mengajak sasaran secara langsung untuk takhruj.
Takhruj, artinya keluar (bahasa Arab). Maksudnya adalah keluar hingga beberapa lama
untuk melakukan ajaran seperti disampaikan dalam dakwahnya.
5.
Alur
Alur atau biasa disebut dengan
istilah plot. Alur adalah sejumlah peristiwa
yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, bersifat sebab
akibat secara logis atau dalam bahasa jawa ketemu ngakal. Terhadap pengertian alur
seperti diterangkan, Becker (1979:16) menyarankan agar pembuatan alur itu
menghindari sejauh-jauhnya dari kejadian atau peristiwa yang sifatnya
kebetulan. Contoh alur yang didasarkan atas kausalitas sebab akibat tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama :
Di Karang Tumaritis rumah keluarga Semar, Semar sedang membangunkan
anak-anaknya: Gareng Petruk dan Bagong untuk selanjutnya pergi ke Madukara
memberikan spirit atas pernikahan janaka dengan Larasati.
Kedua :
Di Dwarawati, ketika Larasati ditanya oleh Kresna ayahnya akan kesediaannya
nikah dengan Janaka, Larasati mempunyai permintaan: sekiranya Janaka bisa
mengajukan wanita yang bisa mengalahkan diri ulah jemparing.
Ketiga :
Janaka menyuruh Srikandi yang sudah diri tatar sedemikian rupa ulah jemparing
untuk menandingi mengalahkan Larasati
Keempat :
Srikandi beradu ketangkasan ulah jemparing dengan Larasati, Srikandi menang
Larasati kalah.
Kelima :
Pernikahan Larasati dengan Janaka.
Alur dalam lakon atau drama-drama
pada umumnya memang selalu dilihat sebagai realitas peristiwa yang saling
berkaitan antara satu dengan lainnya.
Tetapi untuk drama tradisi tidak, untuk drama tradisi kadang-kadang kebetulan. Memang demikian (untuk drama tradisi
kadang-kadang kebetulan) diterangkan oleh Stefanus (1990:38) bahwa pemikiran
timur itu jarang menggunakan pemikiran sebab-akibat, tetapi menggunakan
pengalaman serial.
Mencermati keterangan Stefanus
tersebut, sebenarnya yang ingin dikatakan bahwa sesungguhnya alur dalam drama
tradisi lebih-lebih wayang kulit purwa itu tidak ada, dan yang ada adalah balungan atau seperti dikatakan oleh
stefanus dengan istilah pengalaman serial.
Balungan adalah peristiwa yang
ditata sedemikian rupa berdasarkan filosofi lahir sampai mati. Jelasnya filosofi lahir sampai mati itu
adalah: pertama: metu, kedua: manten,
dan ketiga: mati (3M) (Sudarko, 2000).
Filosofi lahir sampai mati: metu,
manten, dan mati khusus dalam drama tradisi wayang diujudkan
dalam adegan mulai Jejer sampai
dengan Tanceb Kayon. Mulai Jejer
sampai dengan Tancreb Kayon itu
diterangkan sebagai berikut.
Pertama : Jejer, bermakna lahir: masih bayi belum ada masalah.
Kedua :
Jaranan: naik kuda, bermakna anak remaja belajar mengendalikan hawa nafsu.
Ketiga : Perang Gagal, bermakna anak remaja yang
masih belajar mengendalikan hawa nafsu tersebut masih belum mampu mengendalikan
hawa nafsu sehingga gagal atau tidak mencapai maksud hidup atau cita-citanya.
Keempat : Gara-Gara, bermakna puncak nafsu yang
tidak terkendali sehingga menimbulkan huru-hara dalam kehidupannya.
Kelima :
Kapanditan, bermakna sudah tahu
pentingnya berguru baik ilmu dan laku
kebaikan kepada orang yang sudah “paham”.
Kelima : Perang Kembang: satria melawan buta Cakil atau raksasa dimenangkan
satria dan buta Cakil terbunuh dengan
kerisnya sendiri, bermakna sudah bisa mengendalikan hawa nafsu.
Keenam : Perang Brubuh: perang paling akhir,
bermakna puncak perjuangan manusia dari sebuah kehidupan.
Ketuju : Tayungan: tokoh menari, bermakna
syukur atas kemenangan yang didapat.
Kedelapan
: Golekan wayang golek menari sebagai
adegan penutup, bermakna dakwah: golekana
wosing crita: carilah inti cerita, lebih lanjut: sing apik nggonen, sing ala guwangen; yang baik amalkan, yang jelek
tinggalkan.
Filosofi lahir sampai mati: metu,
manten, dan mati khusus seperti dalam drama tradisi wayang
disebutkan, juga tampak dalam drama tradisi kethoprak, dan Ludruk. Filosofi
lahir sampai mati: metu, manten,
dan mati dalam ludrug walaupun tidak seperti wayang
tetapi substansinya sama: mulai Jejer sampai
dengan Tancreb Kayon :
Pertama :
Jejer atau adegan kerajaan.
Kedua : Adegan di taman: panakawan sedang
menunggu bendara-
nya.
Ketiga :
Adegan di alun-alun
Keempat :
Adegan di sebuah jalan.
Adegan-adegan itu dalam drama
tradisi wayang kehadiranya harus hadir atau harus ada walaupun sebab dan
akibatnya tidak bisa diterima akal. Harus hadir walaupun sebab dan akibatnya
tidak bisa diterima akal ini misalnya perang
Kembang satria melawan buta
Cakil. perang Kembang satria melawan buta Cakil itu sebabnya hanya karena
satria akan lewat sebuah jalan tidak boleh atau dihalang-halangi buta Cakil. Sebab dihalang-halangi buta Cakil itulaah kemudian perang dan buta Cakil harus mati di tangannya sendiri.
Balungan karena tidak bertumpu pada logika
sebab-akibat, maka sering muncul tokoh-tokoh surprise yang mengejutkan atau
tiba-tiba, bahkan menjadi kunci dari setiap peristiwa besar yang sulit
dipecahkan, hingga ada dua tokoh surprise yang telah mapan seperti Narada
selalu hadir sebagai Dewa penolong yang pasti berhasil, dan disebut sebagai deus ex machina artinya Dewa penolong. Deus:
Dewa, ex: luar. machina: mesin.
Kehadiran Narada ini selalu saja
dalam peristiwa-peristiwa besar yang sulit dipecahkan secara logika. Misalnya: Gatutkaca–Antarja, keduanya
berperang yang tidak ada kalah dan menang dan siapapun tidak bisa melerainya.
Dalam keadaan sulit demikian datanglah narada memberi tahu bahwa keduanya adalah
kakak beradik Antarja kakak, Gatutkaca adih yang tidak boleh saling menyakiti
apalagi perang.
a.
Macam Alur
Macam alur itu banyak sekali, di
antaranya ada: pertama: alur
konvensional, kedua: alur
inkonvensional, ketiga: alur tunggal, keempat: alur ganda, kelima: alur maju dan keenam : alur mundur. Keenam
macam alur tersebut akan diterangkan kemudian.
1).
Alur Konvensional
Alur konvensioanal, adalah peristiwa
yang tidak mudah ditebak, karena dalam drama tersebut tidak diterangkan
terlebih dulu bagaimana peristiwa kemudian.
Alur ini pada umumnya ada di dalam drama-drama modern. Drama yang tidak memberi tahu peristiwa
kemudian, bisa memacu penonton untuk tetap bertahan menonton, karena ingin tahu
bagaimana alurperistiwa kemudian, atau bagaimana akhirnya.
2).
Alur Inkonvensional
Alur konvensioanal, adalah peristiwa
yang mudah ditebak, karena dalam drama tersebut diterangkan terlebih dulu
bagaimana peristiwa kemudian. Alur ini
pada umumnya ada di dalam drama-drama tradisi.
Drama yang memberi tahu peristiwa kemudian, bisa menjadikan penonton
tidak semangat untuk tetap menonton, karena sudah tahu bagaimana peristiwa
akhirnya. Alur inkonvensional ini misalnya dalam lakon “Banjaran Gathutkaca”. Dalam
“Banjaran Gathutkaca” tersebut ketika Kala Bendana meninggal dibunuh
Gatutkaca, Kala Bendana kemudian mengatakan: “besuk kamu Gatutkaca akan tewas
saya bunuh lewat tangan Adipati Karna dalam perang Baratayuda”. Dengan kata-kata kala Bendana itu, sudah
barang tentu sudah bisa tebak bahwa akhirnya Gatutkaca tewas di tangan Adipati
Karna dalam perang Baratayuda.
3).
Alur Tunggal
Alur tunggal, adalah peristiwa yang
berjalan tunggal atau searah, tidak beranak pinah. Alur tunggal ini biasanya terdapat dalam
peristiwa satu tokoh saja. Alur tunggal yang terdapat dalam peristiwa satu
tokoh saja ini misalnya bisa dilihat dalam berbagai lakon banjaran (lakon atau cerita satu tokoh mulai lahir sampai dengan
mati) seperti lakon banjaran Karna, lakon banjaran Gatutkaca, lakon banjaran Bisma, dan sebagainya.
4).
Alur Ganda
Alur ganda, biasa pula disebut
dengan istilah alur lapis, alur cabang, dan alur degresi. Alur ganda adalah peristiwa yang
perjalanannya beranak pinah (kebalikan dari alur tunggal). Alur ganda ini
biasanya berangkat dari satu permasalahan yang sama dari beberapa tokoh, tetapi
beberapa tokoh tersebut kemudian mengambil jalan berbeda. Alur ganda ini misalnya seperti
terdapat dalam lakon “Wibisana Tundhung”.
Dalam lakon “Wibisana Tundhung”, Wibisana dan Kumbakarna mempunyai
masalah yang sama, yakni ditundung Dasamuka dari negeri Alengka. Wibisana dan Kumbakarna yang mempunyai
masalah sama ditundung Dasamuka dari Alengka tersebut, Wibisana pergi ke
Pancawati suwita atau ikut Prabu
Rama, sedang Kumbakarna pergi ke gunung Gohmuka tidur di di sana. Dalam perang besar antara Pancawati
melawan Alengka, Wibisana kemudian ikut membela
Pancawati, sedang Kumbakarna ikut membela Alengka.
5).
Alur Maju
Alur maju biasa pula disebut dengan
alur progresif atau progresif plot. Alur progresif adalah alur yang peristiwanya
urut dari awal sampai dengan akhir. Alur ini layaknya hitungan angka: 1, 2, 3,
4, 5 ….., dan seterusnya. Alur maju itu misalnya lakon Banjaran, maka awalnya lahir, anak, remaja, dewasa, tua, kemudian
mati.
6).
Alur Mundur
Alur mundur biasa pula disebut
dengan alur regresif atau regresif plot, atau flas back. Alur mundur, adalah alur yang mulainya
dari belakang atau kejadian sesudahnya.
Alur ini layaknya hitungan terbalik: 2, 3. 4, 5, 6, 1, 7, 8 ….. Untuk membuat
alur mundur ini, biasanya dilakukan dengan teknik back tracking (back up
lampu belakang). Alur mundur ini
contohnya seperti dalam lakon “Karna
Tandhing”. Alur mundur dalam lakon “Karna Tandhing” ini ketika Karna hendak perang melawan Janaka, terlebih
dulu menampilkan kejadian lalu yakni ketika ibunya Dewi Kunti membuang Karna ke
sungai. Kejadian lalu yang
ditampilkan tersebut dilakukan dengan
teknik back tracking atau
back lamp: permainan lampu belakang.
7). Alur Patah
Alur
patah, adalah alur yang peristiwanya patah-patah atau tidak runtut, atau
melompat-lompat. Contoh alur patah ini
misalnya dalam wayang kulit purwa. Dalam
wayang kulit purwa itu mestinya setelah jejeran,
kemudian kunduran, paseban nJawi,
perang gagal, dan seterusnya, tetapi
tidak demikian, melainkan setelah jejeran
kemudian bukan kunduran, tetapi
langsung paseban dan perang gagal. Juga selah perang gagal itu mestinya kemudian gara-gara,
tetapi dijujug perang brubuh begitu
saja.
b.
Perjalanan Alur
Perjalanan
alur, dari awal sampai akhir adalah: pemaparan sampai dengan pantarai.
Jelasnya, perjalanan alur itu pertama pemaparan, kedua penggawatan, ketiga klimaks,
kempat anti klimaks, kelima: peleraian, keenam pemberian jawaban, dan ketuju pantarai. Perjalanan alur tersebut akan diterangkan
kemudian.
1).
Pemaparan
Pemaparan biasa pula disebut dengan
istilah perkenalan, dan eksposisi.
Pemaparan adalah perjalanan alur atau peristiwa yang masih seimbang
belum ada masalah. Pemaparan sebagai peristiwa yang masih seimbang belum ada
masalah ini dalam pertunjukan wayang kulit purwa terdapat dalam adegan pertama
atau jejer di sebuah kerajaan. Jejer di sebuah kerajaan tersebut Raja, patih,
mantri bupati, dan sebagainya masih dalam satu hati, satu pikir atau se iya dan
sekata.
2).
Penggawatan
Penggawatan biasa pula disebut
dengan istilah insiden permulaan, rising
action, dan peningkatan ketegangan,
Penggawatan adalah kejadian awal terganggunya keseimbangan di antara
tokoh protagonis dan antagonis.
Penggawatan ini bisa memacu atau memberikan semangat penonton untuk menonton
drama lebih lanjut, sebab penonton tersebut kemudian ingin tahu alur berikutnya.
Penggawatan ini dalam pertunjukan wayang kulit purwa terdapat dalam
adegan kedua sebagai tokoh yang tidak seide dengan tokoh dalam jejeran.
3).
Klimaks
Klimaks biasa pula disebut dengan
istilah penanjakan puncak ketegangan, puncak perselisihan, dan tention complicated. Klimaks, adalah perjalanan alur atau
peristiwa puncak perselisihan paling ujung antara tokoh protagonis dengan tokoh
antagonis. Puncak perselisihan ini dalam ungkapan jawa ibarat orang sakit,
sudah sakit keras: “mboh mati mboh urip”:
entah mati entah hidup. Klimaks ini dalam pertunjukan wayang kulit purwa
terdapat dalam adegan Manyura. Dalam
adegan Manyura ini keberhasilan pandawa menjadikan kemarahan Kurawa hingga
menjadi perang hebat antara keduanya.
4).
Anti Klimaks
Anti klimaks biasa pula disebut
dengan istilah titik balik. Anti klimaks
adalah perjalanan alur atau peristiwa yang salah satu di antara tokoh
berlawanan (antagonis dengan protagonis) sudah mulai melemah atau mulai kalah.
Anti klimaks itu merupakan peristiwa titik terang yang bisa menentukan arah
jalannya sebuah lakon. Anti klimaks ini dalam pertunjukan wayang kulit purwa
terdapat dalam perang Manyura. Dalam
perang Manyura ini tokoh antagonis: Kurawa kalah perang melawan tokoh
protagonis: Pandawa.
5).
Peleraian
Peleraian biasa pula disebut dengan
istilah pemecahan masalah, resolotion,
denoument, falling action. Peleraian adalah perjalanan alur atau peristiwa
di mana sebuah masalah sudah mulai
terpecahkan. Peleraian ini dalam
pertunjukan wayang kulit purwa terdapat dalam setelah adegan perang brubuh, di
mana Kurawa sudah benar-benar kalah.
6).
Pemberian Jawaban
Pemberian jawaban, biasa pula
disebut dengan istilah keputusan, penyelesaian masalah, konflik berakhir, conclution, dan chatastroper. Pemberian
jawaban adalah sebuah alur atau peristiwa telah berakhir dengan segala jawaban
yang sudah jelas. Pemberian jawaban ini dalam pertunjukan wayang kulit terdapat
dalam adegan tanceb kayon yang
dilanjutkan dengan tayungan dan golekan:
dalam adegan tanceb kayon yang
dilanjutkan dengan tayungan dan golekan ini Pandawa telah mendapatkan
kemenangan.
7).
Panta Rhei
Panta
rhei adalah
masalah-masalah baru yang timbol setelah
alur cerita selesai (setelah) pemberian jawaban. Panta rhei tersebut bermakna memberi tahu bahwa sesungguhnya tidak
ada masalah apa pun yang benar-benar
selesai. Artinya, setelah masalah itu selesai, pasti muncul masalah lagi, setelah masalah itu
selesai pasti muncul masalah lagi dan seterusnya hingga masalah itu akan
senantiasa ada dalam kehidupan. Contoh pantarai: Baratayuda setelah selesai
atau Pandawa mendapatkan kemenangan, justru Pandawa kemudian menghadapi masalah
yang sangat berat, yakni masalah akibat dari peperangan: negara dalam keadaan
morat-marit, masyarakat miskin, banyak janda, yatim yang harus diurus, belum
lagi merasa diri sudah waktunya untuk melepas kerajaan dengan pergi halwat atau menyepi ke hutan, dan menghadapi Kurawa yang masih hidup ketika
kemudian menyusun kekuatan lagi untuk menggempur pandawa lagi
Catatan
terhadap Sebuah Perjalan Alur
Perjalanan alur dalam sebuah lakon
menurut Aris toteles dan Gustaf dalam Harimawan (1977) awalnya sebuah lakon itu
tidak ada masalah, kemudian ada masalah, klimaks, kemudian turun sebagai anti
klimaks. Jadi, klimaksnya itu di
tengah-tengah perjalanan alur sebuah lakon. Jelasnya, perjalanan alur dalam sebuah lakon menurut Aris Toteles dan
Gustaf tersebut adalah: pemaparan, penggawatan, klimaks, anti klimaks, dan penyelesaian. Untuk lebih jelasnya, tentang perjalanan alur
menurut Aris Toteles dan Gustaf tersebut bisa dilihat dalam gambar sebagai
berikut.
Penggawatan - - Anti
Klimaks
- -
Pemaparan Penyelesaian
Menurut Brown Des Mathious dalam “A Study of Drama” (1910), perjalanan
alur sebuah lakon berbeda dengan perjaanan Aristoteles dan Gustaf. Perjalanan
alur menurut sebuah lakon menurut Brown Des Mathious, klimaks itu tidak harus
di tengah, tetapi bisa saja kecuali di tengah, juga di pinggir awal atau kiri,
atau bisa juga di pinggir akhir atau kanan. Sebuah lakon drama dengan
klimaksnya di pinggir awal atau kiri itu misalnya drama Shakesphere. Drama Shakesphere itu klimaksnya di pinggir
awal atau kiri. Untuk lebih jelasnya tentang perjalanan alur menurut Brown
tersebut bisa dilihat dalam gambar sebagai berikut.
Penggawatan -
-- Anti Klimaks
Pemaparan
Pemberian jawaban
Drama
yang klimaksnya di pinggir awal atau kiri, selain “Shakesphere”, juga drama
pedalangan lakon “Wahyu Kembang Sore”.
“Wahyu Kembang Sore” itu klimaksnya di pinggir kiri. Jelasnya “Wahyu Kembang Sore” itu untuk rebutan Pandawa Kurawa dan kena
Pandawa sebagai klimaksnya ketika masih dalam Pathet Nem. Untuk lebih
jelasnya tentang perjalanan alur dalam “Wahyu Kembang Sore” tersebut bisa
dilihat dalam gambar sebagai berikut.
Penggawatan -- - Anti Klimaks
Pemaparan
Pemberian jawaban
Menurut Sumandyohadi (2003) tentang
klimaks perjalanan alur dalam sebuah lakon: klimaks itu ada dua, yakni klimaks
besar dan klimaks kecil. Klimaks besar
adalah klimaks yang ada ditengah, di pinggir awal/kiri, pinggir akhir/kanan,
sedang klimaks kecil adalah klimaks yang ada dalam setiap adegan. Untuk lebih jelasnya tentang perjalanan alur
menurut Sumandyohadi tersebut bisa dilihat dalam gambar sebagai berikut.
Klimaks kecil - - penurunan
Klimaks
kecil - - penurunan
Klimaks kecil
- - Penurunan
Pemaparan - - Penyelesaian
6.
tokoh
Tokoh, bisa dilihat dari berbagai sisi: pertama dari sisi tingkat kepentingan, kedua dari sisi dukungannya terhadap
masalah, ketiga dari sisi watak. Tokoh dari berbagai sisi tersebut selanjutnya
akan diuraikan sebagai berikut.
a.
Tokoh dari Sisi Tingkat Kepentingan
Tokoh
dari sisi tingkat kepentingannya itu ada empat, pertama: tokoh sentral, kedua:
tokoh utama, ketiga: tokoh
pembatu, keempat: tokoh figuran.
1).
Tokoh Sentral
Tokoh
sentral, di kalangan masyarakat Jawa
biasa pula disebut dengan istilah tokoh Sri Panggung, atau orang Jawa
mengatakan lakone. Tokoh sentral adalah tokoh yang menggerakkan
seluruh peristiwa lakon. Karena
menggerakkan seluruh peristiwa lakon, maka tokoh sentral ini: pertama paling banyak terlibat dalam
makna tema, kedua paling banyak
terlibat dengan tokoh-tokoh lain, dan ketiga
paling banyak penceritaannya. Tokoh sentral ini misalnya Begawan Cipta Ning
dalam lakon “Arjuna Wiwaha”. Begawan Cipta Ning dalam lakon “Arjuna Wiwaha”
tersebut menjadi tokoh yang menggerakkan seluruh peristiwa seperti: turunnya
bidadari dari kayangan, datangnya Mamang Murka, bahkan juga datangnya Batara Guru.
2).
Tokoh Utama
Tokoh utama, adalah tokoh yang mendukung jalannya
cerita tokoh sentral dalam sebuah lakon.
Tokoh utama ini misalnya para Dewa dan para Pandawa dalam lakon “Cipta
Ning”. Para Dewa dan para Pandawa dalam
lakon “Cipta Ning” tersebut adalah
mendukung jalannya cerita tokoh sentral dalam hal ini adalah Cipta Ning.
Jelasnya, para Dewa sebagai tokoh yang mengabulkan permohonan Cipta Ning:
memberi senjata Pasopati, dan Pandawa sebagai tokoh yang memberikan semangat Cipta Ning.
3).
Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu, biasa pula disebut
dengan istilah tokoh pendukung, dan tokoh peri-peri. Tokoh pembantu adalah tokoh yang tidak
penting, tetapi membantu lancarnya perjalanan sebuah lakon atau cerita. Jelasnya, perjalanan sebuah lakon atau cerita
tidak masalah dan tidak berkurang atas substansinya jika tanpa tokoh pembantu.
Tokoh pembantu ini misalnya kalau dalam wayang kulit purwa adalah para panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong: Begawan Cipta Ning tetap akan
berjalan: mendapatkan senjata Pasopati, dan mendapatkan sembilanratus
sembilanpuluh sembilan bidadari kayangan tanpa hadirnya tokoh panakawan: Semar,
gareng, Petruk, dan Bagong tersebut.
4).
Tokoh Figuran.
Tokoh figuran, adalah tokoh yang
tidak penting, dan hanya menjadi setting,
latar, atau begron (back ground) saja
dalam rangka memberi suasana, dan tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap
jalannya sebuah cerita atau lakon sama sekali.
Tokoh begron ini misalnya kalau dalam pertunjukan wayang kulit purwa
adalah emban raja dalam jejer yang
haya diam tidak berkata-kata.
b.
Tokoh dari Sisi Keberpihakannya terhadap Masalah
Tokoh dilihat dari sisi keberpihakannya terhadap suatu
masalah, ada tiga, pertama: tokoh protagonis, kedua: tokoh antagonis,
ketiga: tokoh tritagonis. Tentang ketiga tokoh tersebut akan diterangkan
sebagai berikut.
1).
Tokoh Protagonis
Tokoh
protagonis, adalah tokoh yang berpihak terhadap masalah yang ada. Masalah yang ada tersebut adalah masalah yang
baik atau kebaikan. Oleh karena masalah
yang ada itu masalah yang baik atau kebaikan, maka tokoh protagonis dalam
pertunjukan drama tradisi selama ini adalah tokoh-tokoh yang berpihak terhadap
masalah yang baik atau kebaikan tersebut.
Tokoh protagonis itu misalnya
kalau dalam wayang adalah Pandu, Pandawa, dan sebagainya, kalau dalam ketoprak
adalah Angling Darmo, Brawijaya, dan sebagainya.
2).
Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis, adalah tokoh yang tidak berpihak
terhadap masalah yang ada yang baik atau kebaikan, artinya bertolak belakang
dengan tokoh protagonis. Dalam drama tradisi seperti wayang kulit purwa, tokoh
antagonis itu tentunya adalah tokoh yang jahat atau kejahatan. Tokoh antagonis ini adalah lawan tokoh
protagonis. Untuk drama tradisi seperti wayang kulit purwa misalnya, adalah:
Duryudana, dan Rahwana.
3).
Tokoh Tritagonis
Tokoh tritagonis, adalah tokoh akomodasi, artinya tokoh
ketiga atau tokoh tengah yang mendamaikan tokoh protagonis dan antagonis yang
bertikai. Tokoh tritagonis yang mendamaikan tokoh protagonis dan tokoh antagonis
yang bertikai ini dalam pertunjukan wayang kulit purwa ada dua tipe: pertama tipe tokoh tritagonis yang
selalu berhasil, kedua tipe tokoh
tritagonis yang selalu gagal.
Tipe tokoh tritagonis yang selalu
berhasil dalam pertunjukan wayang kulit purwa ini adalah Batara Narada. Batara narada ini tokoh tritagonis yang
selalu berhasil dalam mendamaikan tokoh protagonis dengan antagonis yang
bertikai dalam berbagai lakon seperti lakon “Anggada–Anoman”, “Gatutkaca
Antarja”, dan sebagainya. Dalam lakon “Anggada Anoman”, Anggada perang hebat
melawan Anoman yang tidak ada kalah dan menang, sehingga berlangsung sangat
lama, dan tidak ada satupun yang bisa memisahkannya. Dalam perang hebat antara
Anggada melawan Anoman itu berhenti setelah datangnya Batara Narada memberi
tahu bahwa Anggoda dan Anoman itu sesungguhnya anak dan ayah yang tidak boleh
berperang. Demikian halnya dengan lakon “Gatutkaca Antarja”. Dalam lakon “Gatutkaca-Antarja”, Gatutkaca
perang hebat melawan Antarja, yang tidak ada kalah dan menang hingga berlangsung
lama tidak ada yang bisa memisahnya. Perang Gatutkaca melawan Antarja itu
selesai setelah datangnya Batara Narada datang memisahkannya dan memberi tahu
bahwa Gatutkaca dan Antarja itu sesungguhnya adik dan kakak yang tidak boleh
berperang.
Tipe tokoh tritagonis yang selalu
gagal dalam pertunjukan wayang kulit purwa ini adalah Batara Kresna. Batara
Kresna ini tokoh tritagonis yang selalu gagal dalam mendamaikan tokoh
protagonis dalam hal ini Pandawa dengan antagonis dalam hal ini Kurawa yang bertikai
dalam berbagai cerita hingga terjadi
perang hebat antar keduanya, yakni perang Baratayuda jaya Binangun.
c.
Tokoh dari Sisi Watak
Tokoh
dari sisi watak atau karakter itu ada dua, yakni: pertama
tokoh yang berwatak tunggal, dan kedua tokoh
yang berwatak ganda. Tentang tokoh yang berwatak tunggal dan tokoh yang
berwatak ganda tersebut akan diterangkan sebagai berikut.
a.
Tokoh Berwatak Tunggal
Tokoh berwatak tunggal biasa disebut
dengan istilah tokoh mono character. Tokoh mono
charakter adalah tokoh yang mempunyai
watak tunggal seperti narima terus, kau terus, kasar terus, dan sebagainya.
Tokoh mono charakcter ini banyak
terdapat dalam tokoh-tokoh drama tradisi, terutama wayang. Tokoh mono
character dalam wayang ini misalnya Puntadewa, dan Werkudara. Pundewa
berwatak “narima ing pandum”
(ikhlas). Narima ing pandum atau keikhlasan Puntadewa ini bisa dilihat
misalnya ketika diminta apa pun miliknya baik harta, diri bahkan istrinya pun
pasti diberikan. Werkudara kau atau kaku. Kau atau kekakuan Werkudara ini bisa dilihat
misalnya ketika bertemu dengan siapa pun
pasti berbahasa ngoko (kasar)
kepada saudara muda, kepada saudara tua,
bahkan orang tua, dan gurunya
sendiri Durna).
2).
Tokoh Berwatak Ganda
Tokoh berwatak ganda biasa disebut
dengan istilah tokoh round character. Tokoh round
charakter adalah tokoh yang mempunyai
watak ganda. Tokoh round charakcter
ini banyak terdapat dalam tokoh-tokoh drama modern, seperti drama teater dan
drama film. Tokoh round character ini dalam ungkapan tradisi biasa disebut dengan istilah tokoh yang bisa
“manjing ajur-ajer”, tokoh yang bisa
“ngeli ning ora keli”: kelihatan
larut, tetapi tidak larut, tokoh yang bisa “namur
kawula: pura-pura menjadi abdi, tokoh yang “agal kaya gunung, lembut kaya banyu”: kalau kasar seperti gunung,
kalau lebut seperti air, tokoh sing ngono
ya ngono ning ora ngono”: begitu yang begitu tetapi tidak begitu. “empan papan dan bener-pener”: benar sesuai dengan suasana dan keadaannya.
7.
Setting
Setting, biasa pula disebut dengan
istilah latar. Setting adalah sesuatu yang melatar belakangi terjadinya peristiwa.
Sesuatu yang melatar belakangi terjadinya peristiwa itu ada dua, yakni pertama: suasana, kedua: keadaan. Tentang setting
suasana dan keadaan ini selanjutnya akan diterangkan kemudian.
a.
Setting Suasana
Setting suasana adalah sesuatu apa pun yang
tidak tampak yang melatar belakangi sebuah peritiwa. Setting
suasana ini misalnya: susah, senang, agung, tintrim,
dan sebagainya. Contoh setting suasana ini misalnya: adegan
satria di tengah hutan. Adegan satria di
tengah hutan ini setting suasananya
adalah susah. Yang lain adegan di kerajaan Hastina. Adegan di kerajaan Hastina ini setting suasanya adalah agung.
b.
Setting Keadaan
Setting keadaan adalah sesuatu apa pun yang
tampak yang melatar belakangi sebuah peritiwa.
Setting keadaan ini misalnya:
laut, hutan, rumah, jalan, taman, dan sebagainya. Contoh setting
keadaan ini misalnya: adegan satria di tengah hutan adalah. Adegan satria di tengah hutan ini setting keadaannya adalah hutan. Yang lain adegan di kerajaan Hastina. Adegan di kerajaan Hastina ini setting keadaannya adalah kerajaan.
BAB VII
PENYUTRADARAAN
Penyutradaraan,
maksudnya adalah bagaimana sutradara menyajikan drama bisa berhasil baik atau
sukses sesukses-suksenya. Agar drama bisa berhasil baik atau sukses
sesukises-suksesnya, maka pada umumnya kemudian sutaradara: 1. memilih lakon,
2. membuat alur cerita atau pengadegan, 3. menentukan peran atau casting /dhapukan, 3. memberi
pengarahan, dan 4. mengatur jalannya
cerita (Nusantara, dalam Kethoprak Orde Baru, 1997:58),
Penting
untuk diketahui, bahwa operasional penyajian drama itu keberhasilannya
sangat-sangat tergantung oleh Sutradara, walaupun kerja sesungguhnya tidak
sendirian, artinya dibantu oleh orang lain seperti penata panggung, penata
lampu, penata rias, dan penata busana. Karena operasional penyajian drama itu
keberhasilannya sangat-sangat tergantung oleh Sutradara, maka penting dalam bab
ini dibicarakan terlebih dulu tentang sutradara itu sendiri, selanjutnya
bagaimana penyajian atau resepsinya terhadap cerita atau drama.
A.
Sutradara
Sutradara, asalnya dari kata: sutradar (bahasa Sanskerta) artinya
dalang (Timbol, dalam Kabanaran,
2003). Kata sutradara banyak digunakan
dalam film dan drama-drama modern pada umumnya.
Kata sutradara, ditemukan dalam
kitab “Gatutkaca Sraya”. Kitab “Gatutkaca Sraya” adalah kitab yang brekisah
tentang Gatutkaca ketika diutus menjadi duta melamar Dewi Utari untuk Abimanyu.
Cerita tentang Gatutkaca yang diutus menjadi duta melamar Dewi Utari untuk
Abimanyu ini dalam pertunjukan pedalangan sampai dengan sekarang ini masih
banyak digelar.
Kata-kata sutradara, walaupun dalam
pertunjukan pedalangan masih banyak digelar, tetapi malah tidak dipakai, dan
diganti dengan istilah dalang. Dalang
asalnya dari kata “lang” (bahasa
Sanskerta), artinya bergerak. Dalang yang asalnya dari kata lang artinya bergerak ini, sesuai dengan
karakter dalang itu sendiri tersebut yang senantiasa bergerak kesana kemari
untuk peye meladeni penanggap
mementaskan pertunjukan wayang.
B. Sutradara Pengetahuannya tentang
Berbagai Hal
Sutradara adalah pengatur jalannya
sebuah pertunjukan drama. Dengan kata lain, bahwa sutradara itu orang yang
menentukan laku jantraning
pertunjukan, hingga ia mempunyai otoritas atau dalam bahasa Jawanya purba wasesa penuh hingga di
tangannyalah drama itu hidup atau mati. Oleh karena sutradara itu mempunyai
otoritas atau purba wasesa penuh,
maka sutradara dalam sebuah drama, haruslah benar-benar seniman yang all round atau dalam bahasa Jawa mumpuni atau ngabehi. Sutradara sebagai seniman yang mumpuni,
haruslah mempunyai pengetahuan tentang: pencipta, naskah, aktor, panggung, lampu, dan
penonton. Pengetahuan sutradara tentang pencipta, naskah, aktor, panggung, lampu, dan
penonton tersebut selanjutnya diterangkan lebih lanjut.
1. Pengetahuan tentang Pencipta
Pengetahuan tentang pencipta, tidak boleh diabaikan
oleh sutradara. Sutradara setidak-tidaknya harus tahu tentang
kesulitan-kesulitan pencipta dalam menciptakan sebuah karya lakon drama.
Dengan mengetahui kesulitan-kesulitan pencipta dalam
menciptakan sebuah lakon drama tersebut, maka akan tumbuh rasa menghargai
pencipta, sehingga ketika hendak mementaskan sebuah lakon drama sutradara akan:
pertama ijin terlebih dulu kepada
penciptanya, kedua konsultasi, dan ketiga menyajikan apa adanya. Sutradara
maka akan ijin terlebih dulu kepada penciptanya, sebab penciptanya telah
bersusah payah sedemikian rupa menyusun lakon, memlih tema, topik, alur, dan
latar, mempertimbangkan pesan dan sebagainya. Sutradara maka termasuk ijin juga
terlebih dulu, sebab pencipta lakon mempunyai hak patent (lisensia puitica)
yang jika seseorang mementaskan lakon tersebut tanpa ijin bisa dituntut dimuka
pengadilan sesuai dengan undang-undang yang ada (undang-undang hak cipta).
Hak patent
drama selama ini perlu diketahui, memang belum berjalan sekuat seperti hak patent lain seperti musik misalnya. Hak patent musik sudah berjalan kuat
sedemikian rupa hingga mampu menjerat plagiatornya. Contoh kuatnya hak patent musik ini telah terbukti
berkali-kali dapat menjerat plagiatornya masuk dalam pengadilan hingga dihukum
masuk penjara atau didenda. Seperti
kasus gending-gending Sragenan tahun ketika tahun 90-an misalnya, orang yang
mementaskan tanpa ijin pengarangnya dijerat dengan hak cipta kemudian masuk
kepengadilan hingga didenda sekian juta.
Sutradara maka konsultasi lebih dulu dengan
penciptanya, sebab apa yang ditulis oleh pencipta sebuah lakon drama itu tidak
mesti bisa dipahami atau ditangkap secara benar oleh pembaca dalam hal ini
sutradara.
Sutradara maka menyajikan apa adanya, sebab pencipta
mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sangat penting hingga mungkin saja tidak
boleh diubah sama sekali oleh sutradara siapapun.
2. Pengetahuan tentang Naskah
Pengetahuan tentang naskah, sutradara harus bisa
mencari naskah yang baik, dan pantas untuk dipentaskan. Ingat ! ketika naskah
“Rama Tundhung” karya Suyanto disajikan untuk kepentingan ujian akhir oleh
salah seorang mahasiswa Akademi Karawitan Indonesia (ASKI) Jurusan Pedalangan
(sekarang Institut Seni Indonesia: ISI Surakarta), tidak lulus. Maka mahasiswa
tersebut tidak lulus, sebab naskah atau lakonnya tidak layak saji.
Seseorang terhadap jeleknya sebuah naskah,
kadang-kadang berpendapat: “tergantung penyajinya”: naskah yang jelek belum
tentu disajikan jelek, sebaliknya naskah yang baik belum tentu disajikan juga
baik: bisa saja naskah yang jelek disajikan baik, yang baik disajikan jelek.
Pendapat seseorang tersebut memang tidaklah salah, tetapi bagaimanapun baik
tidaknya naskah, merupakan awal dari keberhasilan sebuah penyajian. Oleh karena
itu sutradara harus pandai-pandai memilih naskah.
Adapun cara memilih naskah yang baik, mula-mula
sutradara: harus menganggap bahwa naskah itu jelek. Karena menganggap naskah itu jelek, maka
harus meneliti terlebih dulu, kemudian mensensor.
Cara memilih naskah yang baik tersebut lebih jelasnya
demikian: awalnya sutradara harus
menganggap bahwa naskah itu jelek: bertentangan dengan dirinya. Karena bertentangan
dengan dirinya, maka harus meneliti terlebih dahulu: pertama judulnya kedua plotnya
ketiga temanya, kempat dialognya, kelima geraknya, dan keenam panggungnya. Dengan meneliti itu semua, maka
sutradara akan tahu bagaimana drama tersebut.
Drama tersebut sesuai tidak dengan apa yang diinginkan. Jika drama
tersebut sesuai yang diinginkan diambil, jika tidak, tidak diambil. Atau
diambil tetapi ditambah, di ambil tetapi dikurangi, diganti, dan sebagainya
(disensor).
Penting untuk diketahui, bagaimanapun ketatnya seleksi
terhadap naskah dari sebuah lakon itu, kesempurnaannya nanti setelah
dipentaskan. Adapun hasilnya baik atau tidak, itu merupakan akibat dari
anggapannya sutradara yang jelek terhadap naskah tersebut.
3. Pengetahuan tentang Aktor
Aktor, atau lengkapnya aktor dan aktris, aktor
adalah pemain laki-laki dalam sebuah drama, sedang aktris pemain
perempuan. Terhadap pengetahuan tentang
aktor dan aktris tersebut, sutradara harus bisa meng-casting atau memilih aktor dengan tepat.
Casting atau pemilihan aktor dan aktris
sangat menentukan sekali terhadap berhasil tidaknya sebuah pementasan drama.
Kalau casting atau pemilihan aktor
dan aktrisnya tepat, maka drama akan berhasil,
tetapi kalau tidak tepat, pementasan drama akan gagal. Oleh karena
itu, agar drama tersebut berhasil, ada
beberapa cara casting atau memilih
aktor dan aktris yang bisa dilakukan.
Cara casting
atau cara pemilihan aktor dan aktris yang bias dilakukan ada beberapa macam: pertama dengan cara phisikologi, kedua dengan cara psikologi,
ketiga dengan cara sosiologi, keempat dengan cara kemampuan, dan kelima dengan cara teraphi. Kelima cara pemilihan aktor
dan aktris tersebut kemudian diterangkan
sebagai berikut.
a. Cara Phisikologi
Cara phisikologi, biasa pula disebut dengan cara tipe.
Cara psikologi, adalah cara memilih aktor berdasarkan pertimbangan pisik. Pisik
dimaksud meliputi: jenis kelamin, bentuk tubuh, bentuk muka, bentuk
hidung, bentuk mata, dan sebagainya. Termasuk pisik pula adalah suara.
Jenis kelamin apa yang dipilih: laki-laki ?, perempuan
?, banci ?. Bentuk tubuh yang bagaimana yang dipilih: besar ?, kecil ?,
sempurna ?, atletik ?, six pach
(binaraga) ?. Bentuk muka seperti apa yang dipilih: bulat ?, oval ?, lonjong ?, bundar ?. Bentuk
hidung bagaimana yang dipilih: mancung ?, pesek ?. Bentuk mata bagaimana yang
dipilih: sipit ?, melotot ?. Suara ?: besar ?, kecil ?, keras ?, lemah ?, serak
?, basah ?. Suara seperti apa pula: cerewet ?, tenang ?.
b. Cara Psisikologi
Cara psikhologi, adalah cara memlilih aktor berdasarkan
pertimbangan kejiwaan. Pertimbangan
kejiwaan dimaksud meliputi: mental,
pikiran, dan watak.
Mental bagaimana yang dipilh: kuat ?, lemah ?. pikiran ?: cerdas ?, bodoh ?, nalar ?. Watak
atau tenpramen seperti apa yang dipilih: lemah lembut ?, kasar ?, pemarah ?,
sabar ?, pendendam ?.
c. Cara Sosiologi
Cara sosiologi, adalah cara memlilih aktor berdasarkan
pertimbangan sosial kemasyarakatan.
Pertimbangan sosial kemasyarakatan dimaksud, adalah statusnya di
tengah-tengah masyarakat, seperti:
jabatan, pekerjaan, dan suku.
Berdasar cara casting
tersebut, maka Jabatan apakah yang dipilih: lurah ?, camat ?, bupati ?, dan
sebagainya. Pekerjaan apa yang dipilih: petani ?, pedagang ?, pegawai negeri ?,
ibu rumah tangga ?. Suku apa yang dipilih: Jawa ?, Cina ?, Sunda ?.
Cara sosiologi, akhir-akhir ini (tahun 2012) banyak
dilakukan dalam berbagai pementasan seperti wayang orang, ketoprak, dan teater,
untuk kepentingan baik agama, politik,
maupun sosial. Dalam pementasan wayang orang menteri Kesejahteraan
Rakyat (Menkokesra) Jaro Wacik di-casting
menjadi tokoh Gareng, dalam ketoprak ketua Jaksa Agung Mahfudz MD, dan Din
Syamsudin menjadi tokoh prajurit. Dalam pementasan teater “sentilan-sentilun”
yang tokohnya Dedi Petet bahkan banyak memprogram pejabat-pejabat negara untuk
tampil menjadi tokoh dalam usahanya untuk bisa memperbaiki Negara (Berita TVRI,
Agustus, 2012).
d. Cara Kemampuan
Cara kemampuan, adalah cara memilih aktor berdasarkan
pertimbangan kemampuan. Cara memilih
aktor berdasarkan pertimbangan kemampuan dimaksud, misalnya: walaupun
tokoh sebenarnya besar dan tinggi,
tetapi karena pelaku orangnya mampu walaupun kecil dan pendek, maka pelaku
orangnya dipilih juga untuk menjadi tokoh besar dan tinggi tersebut. Contoh:
tokoh Werkudara misalnya adalah besar, tinggi, hidung mancung. Casting
yang sesuai untuk Werkudara tersebut
mestinya juga orang yang besar, tingi, hidung mancung, tetapi karena pelaku
orangnya (Si Mamad) itu mampu walaupun kecil, pendek, hidung pesek, maka
dipilih juga untuk memerankan tokoh Werkudara tersebut.
e. Cara Terapi
Cara terapi, adalah cara memilih aktor berdasar terapi,
maksudnya untuk mengobati penyakit, hingga tidak jarang karena untuk terapi ini
kemudian bersifat antitype, artinya berlawanan dengan tipe ideal sebenarnya. Cara terapi ini misalnya: Si Mamad adalah
anak minderan. Karena si Mamad itu anak
minderan, maka kemudian di casting
menjadi tokoh Gatutkaca seorang pemberani,
Jadi, maka Si Mamad dicasting
menjadi tokoh pemberani ini maksudnya agar sembuh dari penyakit menderannya hingga
menjadi orang pemberani. Cara demikian
memang jarang dilakukan, karena bertaruh
dengan keberhasilan pementasan.
Gambar:
mukti, 2012. Pementasan “Dhemit”. Pemilihan aktor di atas bisa dilakukan dengan
berbagai cara
4. Pengetahuan Tentang Panggung
Pengetahuan tentang panggung, sutradara haruslah bisa
memilih luas sempitnya panggung untuk pementasan. Kalau aktor dan aktrisnya
sedikit, maka tidak akan memilih panggung yang terlalu luas. Sebaliknya, kalau
aktor dan aktrisnya banyak maka akan memilih panggung yang luas.
Sutradara selain harus bisa memilih sempit dan luasnya
panggung untuk pementasan, juga harus bisa memilih panggung yang tepat untuk
pementasan: panggung alami kah ?, panggung buatan: prosinium ?, arena ?, atau
lapangan luas ?.
5. Pengetahuan Tentang Lampu
Pengetahuan tentang lampu, sutradara
haruslah pandai-pandai memilih lampu untuk pementasan. Untuk pementasan drama
tradisi atau modern demikian, lampu apa yang harus dipilih: lampu penerang atau
lampu penyinarkah ?. Sutradara sekiranya memilih lampu penyinar, pada adegan yang terdiri dari berbagai
suasana, harus pandai-pandai memilih warna: ketika dalam suasana sedih warna
apa yang dipilih, hijau ?, merah ?, atau kuning ?. Ketika dalam suasana marah,
warna apa yang dipilih: merah, hijau, merah,
atau kuning ?, dan sebagainya.
Tata Lampu itu biasa pula disebut
dengan istilah lighting. Di kalangan akademik atau kampus seperti
Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Tari Fakultas Bahasa dan Seni, ada Mata
Kuliah TTP: Tata Teknik Pentas. Dalam Mata Kuliah Tata Teknik Pentas itulah
tata lampu ada di dalamnya.
Tata lampu yang penting disampaikan
ada dua lampu dalam pertunjukan, pertama
lampu penerang, kedua lampu penyinar. Tentang lampu penerang dan lampu
penyinar ini akan diterangkan kemudian.
a.
Lampu Penerang
Lampu penerang, maksudnya adalah lampu yang hanya digunakan
untuk menerangi panggung atau medan pertunjukan saja. Lampu penerang yang ada,
maksudnya masih digunakan dan solid
sampai dengan sekarang ini, adalah lampu penerang yang disebut dengan istilah blencong. Blencong ini nyalanya api, dan digunakan untuk pertunjukan wayang kulit.
Blencong, dulu tidak hanya berfungsi sebagai
penerang saja, tetapi juga sebagai tanda
atau petunjuk waktu, selanjutnya untuk menentukan pathet. Jika nyala api itu masih bergerak-gerak, berarti waktu
masih sore hingga harus masih pathet Nem,
jika sudah nyala api tenang atau anteng, berarti sudah larut malam sekitar jam 01.00
hingga harus malik pathet sanga, dan
jika nyala api itu sudah bergerak-gerak
lagi, berarti waktu sudah pagi jam 03.00 hingga harus sudah pathet Manyura.
Blencong untuk sekarang ini, walaupun
masih ada dalam pertunjukan wayang
kulit, tetapi terbuat dari listrik, dan
sudah tidak berfungsi lagi untuk tanda
waktu, listrik tersebut tidak bergerak-gerak sebagaimana blencong nyala api.
b. Lampu Penyinar
Lampu penyinar, adalah lampu warna-warni yang digunakan
untuk membuat efek suasana, seperti suasana susah, suasana gembira, panas,
haru, dan sebagainya. Untuk membuat suasana gembira misalnya, digunakan lampu
warna kuning, untuk membuat suasana susah digunakan lampu gelap atau
remang-remang hitam, untuk membuat suasana panas digunakan lampu merah, dan
sebagainya.
Lampu penyinar demikian, banyak digunakan terutama dalam
pertunjukan drama modern seperti teater, tari, dan musik. Namun demikian,
pertunjukan tradisi untuk sekarang ini seperti: ludrug, ketoprak, juga sudah banyak yang menggunakan lampu
penyinar, dan wayang juga sudah ada yang
menggunakan lampu penyinar meskipun masih sedikit: sebatas dalang Enthus
Susmono, dan Manteb Sudarsono.
6. Pengetahuan tentang Musik
Musik dalam drama, awalnya bukanlah merupakan sesuatu yang
sangat penting dan esensial. Dulu drama tanpa dibarengi dengan musik, tetapi
untuk sekarang ini nampaknya tidak bisa tanpa musik, hingga musik tersebut
keberadaannya menjadi sangat mutlak.
Fungsi musik dalam drama adalah untuk membuat efek suasana
dalam mencapai tujuan susah, gembira, panas, lucu, dan sebagainya. Walaupun musik
dalam drama tersebut termasuk sebuah iringan, tetapi iringan tidak harus selalu
musik ketika musik bersuara, tetapi kemudian tiba-tiba diam berhenti “mak pet”, “mak pet” itu pun juga iringan yang menghasilkan suasana.
Bicara tentang iringan, di kalangan jurusan Pendidikan Seni
Tari, ada istilah musik internal, dan
musik eksternal. Musik internal adalah musik yang terdapat
dalam tari itu sendiri, seperti tembang, suara lesan, petik jari, hentak kaki,
desah nafas, dan sebagainya. Tari yang menggunakan musik internal ini misalnya adalah tari “Sedati” dari Aceh. Tari Sedati
dari Aceh ini musiknya dari dalam tari itu sendiri yakni tembang, tepuk tangan,
petik jari, dan hentak kaki. Memang demikian, banyak tari dari daerah Aceh itu
yang menggunakan musik-musik internal.
Musik eksternal adalah
musik apapun yang terdapat di luar tari,
misalnya gamelan, rebana, orgen, dan sebagainya. Banyak tari-tarian yang
musiknya eksternal, misalnya berbagai
tari jawa: Klana, Bambangan Cakil, dan sebagainya, iringannya adalah gamelan.
Tari “balet” dari barat iringannya orgen, dan sebagainya.
Musik, dalam agama Kristen-katolik digunakan untuk mencapai
tujuan “Allah”. Lain halnya dengan agama Hindu, agama Hindu dengan tari. Sedang
untuk agama Islam tidak dengan musik,
tidak pula dengan tari.
7. Pengetahuan tentang Penonton
Pengetahuan tentang penonton, sutradara harus
pandai-pandai melihat: maksud dan tujuannya, tingkat apresiasinya, dan
intelektualnya. Penonton itu maksud tujuannya apa: sekedar melepas lelah atau
benar-benar apresiasi ?, tingkat apresiasinya rendah apa tinggi?, intelektualnya
masyarakat biasa apa seniman ?.
Sutradara jikalau tahu bahwa penonton itu maksud dan
tujuannya hanya sekedar melepas lelah, tingkat apresiasinya rendah, dan
intelektualnya masyarakat biasa, boleh sutradara menampilkan drama yang
sifatnya hiburan saja, tetapi kalau maksud dan tujuannya apresiasi, tingkat
apresiasiasinya tinggi, intelektualnya seniman, tidak boleh demikian.
Maksudnya, sutradara harus menampilkan drama yang benar-benar digarap.
Khusus mengenai penonton, dalam masyarakat Jawa
aktivitasnya biasa disebut dengan istilah ndellok,
jarwa dhosok (dua kata yang digabung) dari kat kendel dan alok artinya berani
asal ngomong. Penonton yang demikian,
berarti apresiasinya rendah, hanya bisa
mengkritik, dan tidak bisa memberi masukan sebagai jalan keluar, atau dengan bahasa
kasar: hanya bisa merusak tidak bisa memperbaiki, dan bisa bongkar tidak bisa
pasang. Makna di balik penonton yang apresiasinya rendah, ada penonton yang
apresiasinya tinggi. Penonton yang apresiasinya tinggi, aktivitasnya tidak ada
istilah khusus. Karena tidak ada istilah
khusus, maka sebut saja menghayati. Sutradara terhadap penonton demikian, harus
tahu ini penonton penonton ndellok
apa penonton menghayati. Kalau ndellok,
sutradara bisa menampilkan drama sederhana yang mudah dicerna, tetapi kalau
menghayati, tidak boleh demikian, melainkan harus menampilkan drama tinggi yang
boleh dikata rumit.
Beda-beda penonton tersebut
setidak-tidaknya berimplikasi pada penyerapan pesan. Bagi penonton yang pintar, akan bisa menyerap
pesan dengan baik, di antara caranya adalah menganalisis pertunjukan dengan
berbagai alat analisa. Bagi pejabat akan
menganalisis perilaku tokoh yang mempunyai jabatan penting di dalamnya dengan formal politik, bagi
rakyat biasa akan menganalisis tokoh rakyat biasa dengan formal
kesederhanaan.
Bagi yang tidak pintar memang sulit
menganalisis dengan formal apa pun, tetapi biarlah tetap dihargai, karena
setidak-tidaknya mereka sudah menonton dengan ikut merasakan apa yang dirasakan
oleh sutradara dan penciptanya.
B. Sutradara Penyajiannya terhadap
Cerita
Seperti diketahui bahwa sutradara
itu adalah pengatur jalannya sebuah pertunjukan drama. Dengan kata lain, bahwa
sutradara itu orang yang menentukan laku
jantraning pertunjukan drama, hingga ia mempunyai otoritas atau dalam
bahasa Jawanya purba wasesa penuh
terhadap jalannya drama tersebuta. Di tangannyalah drama itu hidup atau mati.
Karena demikian, maka ia punya konsep penyajian cerita, terserah cerita itu mau
disajikan yang bagaimana: apa adanya, ditambah, dikurangi, atau
diputarbalikkan. Yang mau disampaikan di
sini, bahwa konsep penyajian cerita itu ada bebarapa (ada empat), pertama disajikan apa adanya, kedua di tambah, ketiga dikurangi, dan keempat
diputarbalikkan.
Disajikan apa adanya, karena memang
cerita itu dalam drama sebagai sumber yang harus dipertang-gungjawabkan. Karena sebagai sumber yang harus
diper-tanggungjawabkan, maka tidak akan menimbulkan masalah sekiranya disajikan
begitu saja apa adanya.
Ditambah dan dikurangi kiranya
menjadi hal yang lazim, karena cerita itu harus disesuaikan dengan konteks
sosial yang ada. Kalau cerita itu tidak
disesuaikan dengan konteks yang ada, cerita itu seperti “hidup di awang-awang”.
Sedang diputar balikkan memang juga
tidak masalah selama bisa mempertanggungjawabkan. Banyak cerita yang dalam
penyaiannya diputar balikan, misalnya “Warok Sura Menggala Suminten Edan”
diputar balikkan menjadi “Warok Sura Menggala Suminten Ora Edan”, yang lain, seperti: Janaka tempatnya cinta diputarbalikkan
menjadi “Janaka Mencari cinta”, dan masih ada lagi yang tidak disebutkan.
BAB
VIII
PENCIPTAAN
DRAMA
Penciptaan, asalnya dari kata
“cipta” (bahasa Jawa), artinya pemusatan pikiran atau angan-angan (Purwadarminto,
1976). Penciptaan, adalah pengadaan
karya seni dari tidak ada sampai wujud
yang nyata hingga bisa dinikmati oleh keindahannya oleh orang lain (Djelantik,
1999:74).
Penciptaan dalam hal ini drama atau
lakon, adalah sebuah proses kreatif dari seorang seniman untuk memproduksi
sebuah lakon atau drama. Jadi, drama atau lakon itu merupakan sebuah produk
karya seni yang diciptakan oleh seniman.
Berdasarkan pengertian penciptaan
drama atau lakon tersebut, maka yang
perlu diperhatikan bahwa dalam penciptaan lakon atau drama itu ada empat unsur,
pertama: pencipta, kedua proses penciptaan, ketiga obyek penciptaan, dan keempat
produk penciptaan. Keempat unsur penciptaan lakon atau drama tersebut akan
dibicarakan kemudian.
A. Pencipta Drama
Pencipta apa pun seni termasuk
drama, di kalangan seniman akademik sering dibicarakan bersama dengan penyusun,
dan penyaji. Khusus pengertian antara
pencipta dan penyusun, sering dipandang sama dalam kinerjanya, sehingga pencipta
sama dengan penyusun. Dalam pembicaraan
ini akan coba dibedakan antara pencipta dan penyusun. Perbedaannya pencipta dan
penyusun, akan lebih jelas jika melihat perbedaan antara Tuhan dan manusia.
Tuhan adalah pencipta seluruh makhluk yang ada yang semula belum
ada kemudian adalah pencipta bumi menjadi ada. Bumi tersebut semula belu ada,
setelah ciciptakan oleh tuhan, maka bumi tersebut kemudian menjadi ada. Tuhan
juga menciptakan langit yang langit tersebut semula juga belum ada. Adapun manusia adalah menyusun segala ciptaan Tuhan yang sudah ada, misalnya
suara-suara ciptaan Tuhan yang telah ada, disusun oleh manusia sedemikian rupa
hingga menjadi suara atau musik yang sangat merdu didengar. Contoh lain, warna-warna yang sudah ada
disusun oleh manusia sedemikian rupa hingga menjadi warna-warna atau lukisan
yang sangat menarik dipandang mata, dan sebagainya.
Berdasar keterangan tersebut, maka
yang akan disampaikan, bahwa pengertian pencipta dan penyusun dalam jagat
kesenian lebih bersifat tingkatan. Penciptaan bersifat penemuan awal dari sebuah
barang yang sesungguhnya sudah ada, tetapi penyusun itu bersifat mengatur segala barang yang
sudah ada hingga menjadi bentuk lain. Pengertian penyusun tersebut, kira-kira
seperti buku yang lebih bersifat suntingan.
Ramayana misalnya, adalah diciptakan oleh walmiki. Sukeksi, disusun oleh
sumanto (lihat sukeksi karya sumanto,1983).
Jadi, Walmiki itu pencipta, Sumanto itu penyusun. Contoh lain Mahabarata
misalnya, diciptakan oleh Empu Walmiki, sedang Dewaruci disusun oleh Bambang
Suwarno (lihat Dewaruci oleh Suwarno, 1983). Jadi, Empu Wiyasa itu pencipta,
sedang Dewaruci itu penyusun. Lain lagi dengan penyaji, penyaji adalah orang yang menyajikan sebuah karya
bisa karya sendiri ataupun karya orang lain.
Di ISI Solo, akhir dari kuliyahnya mahasiswa boleh memilih menjadi
penyusun atau penyaji. Penyusun: menyusun karya, penyaji menyajikan karya orang
lain.
Penciptaan, penyusun, dan penyaji,
adalah seniman kreatif. Pencipta: menciptakan lakon atau drama yang asalnya
dari tidak ada menjadi ada”, penyusun menyusun lakon atau drama hingga menjadi
menarik, dan penyaji adalah menyajikan lakon atau drama dengan tafsir yang ada.
B. Proses Penciptaan Drama
Proses penciptaan sebuah drama, bisa
ditempuh pertama lewat pintu unsur
lakon (Sumanto, 1995), kedua lewat jalan
formula 4 M (Harimawan, 1977:89), ketiga
lewat jalan eksplorasi, improfisasi, dan evaluasi (Enis. 1990:10-11), keempat lewat preparasi, inubasi, inspirasi, dan elaborasi (Djelantik,
1999:11).
1. Lewat Pintu Unsur Drama
Proses penciptaan sebuah drama ditempuh
lewat pintu unsur drama. Proses penciptaan sebuah drama ditempuh lewat pintu unsur
drama, jelasnyanya bahwa drama itu merupakan karya cipta manusia atau seniman.
Seperti karya seni pada umumnya, proses penciptaan drama ini diawali dari
pengamatan seniman terhadap obyek. Pengamatan yang dimaksud bisa dalam bentuk
melihat, membaca atau yang lain. Sedangkan obyeknya tergantung dari bentuk
pengamatannya. Kalau pengamatannya itu melihat, obyeknya bisa sebuah alam
seperti: gunung, laut, sawah, hutan, dan sebagainya. Kalau bentuk pengamatannya
itu membaca, tentu saja bisa buku cerita: novel, legenda, dan sebagainya.
Obyek yang dilihat: gunung, laut,
sawah, hutan, yang dibaca buku: cerita novel, legenda, dan sebagainya itu
direkam dalam memori pikiran seniman, selanjutnya diproses dalam bentuk garap
dengan media tertentu hingga keluar
menjadi sebuah karya seni lakon atau drama. Proses terjadinya sebuah karya seni
lakon atau drama tersebut bisa dilihat dalam gambar skema dibawah ini.
2. Lewat Formula 4 M
Proses penciptaan sebuah drama ditempuh
lewat formula “empat em” (4 M) dimaksud, adalah: pertama menghayal atau ide, kedua menceritakaan/menuliskan atau story,
ketiga mementaskan/memainkan atau action, dan keempat menyaksikan atau audience
(Harimawan, 1977) Untuk lebih jelasnya lewat formula 4 M itu akan akan
diterangkan kemudian sebagai berikut.
Menghayal, maksudnya merenungkan
sesuatu hingga terkesan dalam angan-angan dan pikiran. Sesuatu itu bisa peristiwa alam: misalnya
macan makan kijang, ombak bergulung-gulung berkejar-kejaran, dan peristiwa
manusia misalnya tawuran, percintaan, dan sebagainya. Peristiwa yang terkesan
dalam hati dan angan-angan itulah kemudian menjadikan rasa ingin untuk
menggarap menjadi sebuah karya (rangsang kinesthetic:
rangsang awal). Dari peristiwa yang terkesan dalam hati dan angan-angan
kemudian menjadikan rasa ingin untuk menggarap menjadi sebuah karya itulah
disebut dengan ide, atau rangsang awal.
Menceritakan, maksudnya setelah mendapatkan ide atau rangsang
awal seperti disampaikan, kemudian menceritakan dan menulis hingga menjadi
sebuah naskah atau lakon. Inilah yang disebut dengan istilah story.
Mementaskan, maksudnya setelah
menceritakan dan menulis hingga menjadi sebuah naskah, kemudian mementaskan di
atas panggung. Inilah yang disebut
dengan istilah action. Dengan mementaskannya naskah tersebut di atas
panggung, maka menjadilah sebuah drama. Drama ini sudah barang tentu ada
latihan, ada action terlebih dulu,
bahkan berkali-kali hingga sempurna.
Menyaksikan, dalam mementaskan drama
disebuah panggung, pencipta sudah barang tentu menyaksikan hingga tahu mana
yang pantas dipertahankan, mana yang tidak, artinya harus diperbaiki atau drop,
inilah yang disebut dengan audience.
3. Lewat Pengamatan, Eksplorasi,
Improvisasi, Evaluasi, dan Seleksi
Proses penciptaan sebuah drama ditempuh
lewat pengamatan, ekspolrasi, improvisasi, evaluasi dan seleksi menurut Enis
(1990) dimaksud, bisa diterangkan sebagai berikut.
Pengamatan, maksudnya dengan cara
mengamati terlebih dulu terhadap sesuatu alam: gunung, laut, hutan, jurang, dan
sebagainya untuk mendapatkan ide atau inspirasi. Ketika mengamati sesuatu alam:
gunung misalnya, seseorang melihat macan menerkam kijang dengan buasnya. Dari
melihat macan menerkam kijang dengan buasnya tersebut, kemudian muncul ide atau
inspirasi misalnya tentang kebuasan manusia. Ketika mengamati sesuatu alam: laut: melihat ombak yang
bergulung-gulung berkejar-kejaran. Dari melihat ombak yang bergulung
berkejar-kejaran tersebut, kemudian muncul ide atau inspirasi misalnya tentang
kesrakahan manusia, dan sebagainya.
Eksplorasi, maksudnya setelah
mendapatkan ide tentang kebuasan manusia dari pengamatannya terhadap macan
menerkan kijang dengan buasnya tersebut, kemudian segera dieksplorasi, maksudnya digarap atau dijajagi sedemikian
rupa dengan dialog, gerak, dan suara untuk menjadi sebuah lakon.
Improvisasi, maksudnya dari
eksplorasi tersebut sudah barang tertentu banyak dialog, gerak, dan suara yang datang secara tiba-tiba
menjadi sebuah lakon.
Evaluasi, maksudnya hasil dari eksplorasi dan improvisasi yang ada baik dialog, gerak,
dan suara tersebut kemudian dievaluasi, maksudnya dilihat mana yang baik mana
yang buruk, atau mana yang pantas mana yang tidak, untuk menjadi sebuah drama.
Seleksi, maksudnya hasil dari
evaluasi tersebut yang baik dipakai yang jelek dibuang. Yang baik dipakai,
tentu saja dipakai dalam pengertian kemudian disusun atau dirangkai sedemikian
rupa hingga menjadi sebuah lakon.
4.
Lewat Preparasi, Inkubasi, Inspirasi, dan Elaborasi
Proses
penciptaan sebuah drama lewat preparasi, inkubasi, inspirasi, dan elaborasi
menurut Djelantik (1999) dimaksud, diterangkan sebagai berikut.
Preparasi, maksudnya
persiapan. Persiapan ini dilakukan setelah mendapatkan dorongan untuk berkarya,
baik dorongan itu dari luar: seperti pesanan orang lain, dan dari dalam:
kehendak diri sendiri.
Inkubasi, adalah
pembibitan. Pembibitan ini maksudnya
menampilkan sajian awal baik dalam bentuk gambar titik kalau itu seni
rupa, gerak kalau itu seni tari, dan suara kalau itu seni musik.
Inspirasi, adalah
merenung, Merenung ini maksudnya setelah menampilkan sajian awal untuk proses
lebih lanjut, kemudian mencari ilham untuk melanjutkan bibit yang telah
disajikan tersebut.
Elaborasi, adalah
perluasan dan pemantapan. Elaborasi ini,
maksudnya adalah memperluas hasil perenungan. Setelah endapatkan hasil dari
perenungan, kemudian memperluas dan memantapkan hingga menjadi wujud karya yang
bisa dinikmati oleh orang lain, bahkan diri sendiri.
(Wallas
dalam Djelantik, 1999:74).
C. Obyek Penciptaan Drama
Obyek penciptaan drama adalah alam
atau kehidupan. Alam atau kehidupan yang dahsyat, permasalahan yang berat,
inilah obyeknya. Ada beberapa obyek yang ditiru dilihat dari keasliannya, yakni
pertama alam secara langsung misalnya
seperti kehidupan, kedua tiruan alam
misalnya seperti drama sendiri juga bias menjadi objek penciptaan drama.
D. Produk Penciptaan Drama
Produk
penciptaan, adalah karya seni dalam hal ini drama. Drama sebagai produk karya
ini, bisa sebagai model pertama, bisa sebagai model kedua. Jelasnya drama sebagai karya seni itu ada
dua, yakni drama model pertama dan drama model kedua.
Drama
model pertama, adalah drama sebagai produk dari tiruan alam langsung. Drama
atau karya seni apapun yang itu sebagai produk pertama, disebut dengan istilah first model of immitation (tiruan model
pertama). Drama model pertama ini
misalnya kalau dalam drama Jawa adalah wayang kulit purwa. Jelasnya, wayang
kulit purwa itu merupakan tiruan dari manusia. Dengan kata lain, wayang kulit purwa itu merupakan
personifikasi dari manusia.
Drama
model kedua, adalah drama sebagai produk dari tiruan alam yang telah
ditiru. Drama atau karya seni apapun
yang itu sebagai produk kedua, disebut dengan istilah second model of immitation (tiruan model kedua). Drama model kedua ini misalnya kalau dalam drama Jawa adalah
wayang orang. Jelasnya, wayang orang itu adalah tiruan dari wayang kulit.
Dengan kata lain,
wayang orang merupakan personifikasi dari wayang kulit.
BAB XI
PEMENTASAN DRAMA
Pementasan drama bukanlah barang
jadi, artinya begitu saja mudah dilakukan. Pementasan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang
harus ditunaiakan. Kebutuhan kebutuhan
pementasan itu adalah, 1. kebutuhan tokoh,
dan 2. kebutuhan pementasan. Kebutuhan tokoh itu meliputi: a. kebutuhan
alat rias seperti pupur, kapas, pensil, dan b. kebutuhan properti seperti tas,
sapu tangan, topi. Sedang kebutuhan pementasan itu meliputi: a. kebutuhan music
untuk membentuk suasana, b. kebutuhan tata lampu untuk membuat pencerah dan
penyinar, dan c. kebutuhan dekorasi untuk membuat setting panggung.
Pementasan
drama menurut Tailor (1981:20) perlu didukung oleh adanya organisasi dari orang-orang yang
bertanggung jawab di dalamnya. Orang-orang yang bertanggungjawab di dalamnya
itu ada: sutradara, pemimpin teknik (tecnik
manager), pemimpin panggung (stage
manager), pemimpin produksi (business
manager), dan seksi atai staf-staf kecil di bawahnya, seperti: perencana
panggung, pembuatan dekorasi, teknik suara, teknik lampu, perlengkapan, kru
panggung, tata rias, tata busana, publikasi, karcis, program, dan gedung.
Berikut skema organisasi untuk pementasan drama tersebut.
Organisasi
untuk Memproduksi Lakon
Sutradara
Pemimpin teknik Pemimpin Panggung Pemimpin
Produksi
Perencanaan Panggung Perlengkapan Publikasi
Pembuatan Dekorasi Kru panggung Karcis
Teknik Suara Tata Rias Programa
Teknik Lampu Kostum Busana Gedung
Produksi
Pementasan
drama menurut toiler pula (1981:29) kecuali perlu didukung oleh adanya organisasi dari orang-orang
yang bertanggung jawab, juga harus ada proses perjalanan mulai dari latihan
sampai dengan mendapatkan honor. Proses perjalanan
mulai dari latihan sampai dengan mendapatkan honor itu lengkapnya: pertama latihan, kedua penyajian, ketiga sutradara
jadi penonton, keempat kritik, kelima drama ditampilkan kembali (Tailor, 1981:21) dan keenam menerima honor, atau tanggapan (yang terakhir ini lazimnya tidak
disampaikan, tetapi realitasnya memang demikian mendapatkan honor).
A.
Latihan
Latihan
diawali dari membaca naskah diakhiri dengan gladi bersih, lengkapnya
adalah: 1. membaca naskah,
2. menghapal
dialog dan gerak, 3. latihan adegan,
4. latihan adegan
secara keseluruhan, mulai awal sampai akhir, e.gladi bersih (general rehersal).
Latihan
aktor khusus untuk menghasilkan gerakan dan ekspresi yang harus sesuai dengan
peran yang dilakukan tidaklah mudah, karena berhubungan sekali dengan masalah
bakat Harimawan
(1977:30). Pelaku yang baik tersebut
walaupun menurut Harimawan adalah pelaku yang bakat, tetapi hukum
konvergensi mengatakan bahwa bagaimanapun bakat seseorang tanpa dilatih tidak
akan berkembang (
Rusyana, 1979:43). Bakat
seseorang karena tanpa dilatih tidak akan berkembang, maka aktor harus
banyak latihan seperti olah raga, olah tubuh, meditasi, konsentrasi, dan kontenplasi, imajinasi,
empati, dan simpati. Aktor dengan banyak
latihan semua itu akan menghasilkan pikiran-pikiran yang aktif bergerak dan ekspresif. Aktor jika hanya hanya
latihan sebagian saja seperti imajinasi, meditasi, dan konsentrasi, akan
menjadi orang yang pasif.
Olah
raga, maksudnya untuk mendapatkan kebugaran jiwa. Usaha untuk mendapatkan
kebugaran jiwa dengan cara ini penting dilakukan, karena tanpa kebugaran pisik
aktor akan sulit mengekspresikan peran yang kaitannya dengan kekuatan pisik
seperti mengerutkan dahi, menggerakkan dada, panggul, dabn sebagainya.
Olah
tubuh, mwaksudnya untuk mendapatkan kelenturan setiap anggota tubuh, seperti
bahu, tangan, kaki, jari, dan sebagainya.
Usaha ini penting dilakukan, sebab tanpa kelenturan anggota tubuh
ekspresi aktor untuk peran tidak akan mengena dengan baik.
Meditasi adalah memusatkan hanya satu pikiran saja. Meditasi dengan memusatkan satu pikiran ini bisa
ditempuh dengan tiga cara, yakni dengan cara berdiri , dengan
cara duduk, dan dengan
cara berbaring.
Meditasi dengan cara
berdiri, maksudnya adalah
meditasi dengan cara berdiri tegak, tangan menguncup di depan dada, mata
melihat pucuk hidung.
Meditasi dengan cara
duduk, maksudnya adalah
meditasi dengan cara duduk bersila. Meditasi
dengan cara duduk bersila ini ini jika
dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka “jin akan masuk dan nyawa akan dibawa hingga bisa melihat
yang aneh-aneh – nggambrang di bawa syetan kemana-mana”.
Meditasia dengan cara berbaring,
maksudnya meditasi dengan cara tidur mengikuti anatomi tubuh. Meditasi dengan cara tidur mengikuti anatomi
tubuh, maksudnya meditasi dengan cara tidur terlentang tangan dan kaki lurus, bisa meditasi dengan
cara terlentang tangan sedekap, kaki lurus yang kanan ditumpangkan yang kiri.
Meditasi dengan cara berbaring, maksudnya juga meditasi dengan cara tidur miring
mengikuti anatomi tubuh: tangan kiri menekuk untuk bantal kepala, tangan kiri
lurus, kaki juga menekuk kanan di atas, kiri di bawah.
Meditasi,
lazimnya dibantu dengan proses-proses internal seperti bau kemenyan, dan atur nafas. Meditasi maka dibantu dengan bau
kemenyan dan atur nafas, sebab bau kemenyan dan atur nafas akan akan
menhasilkan harmoni tubuh, hingga bisa memberikan
nuansa-nuansa hati yang indah. Meditasi
setelah sampai pada nuansa-nuansa indah, kemudian melontarkan
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban seperti pertanyaan-pertanyaan masa depan,
pertanyaan-pertanyaan akhirat, pertanyaan
alam kubur, pertanyaan
pribadi, keluarga dan sebagainya yang selama ini menjadi beban berat
baginya.
Kontemplasi,
adalah memusatkan
cabang pikiran layaknya di-keroyok
oleh dua orang atau lebih, hingga harus dihadapi dengan cara memusatkan
konsentrasi bercabang pada dua atau lebih musuh yang ada tersebut. Kontenplasi
karena memusatkan konsentrasi bercabang, maka belajar
kontenplasi itu bisa
dengan cara langsung membuat adegan perang kroyokan.
Berdasar
keterangan tersebut, maka beda meditasi dengan kontenplasi, kalau meditasi memusatkan satu pikiran, tetapi kalau
kontenplasi memusatkan cabang pikiran.
Imajinasi adalah menghayalkan apa
pun tentang sesuatu, bahkan boleh menghayalkan sesuatu di luar kemampuan
seperti dengan cara berandai-andai, andai
menjadi miliarder, andai menjadi presiden, andai menjadi …….. , dan
sebagainya.
Empati adalah rasa senang terhadap
kawan, sehingga dengan rasa senang terhadap kawan ini kemudian meniru sikap dan
perilakunya seperti yang suka menolong, suka memberi, sering garuk-garak tangan,
membenahi lengan baju, menyentuh pucuk hidung, dan sebagainya.
Simpati, adalah rasa senang terhadap kawan—hampir sama
dengan pengertian empati, hanya kalau simpati ini kemudian memberikan sesuatu
seperti pujian atau barang.
B. Penyajian
Penyajian
sebuah drama, adalah diawali mulai dari konditioning
sampai dengan usai. Jelasnya penyajian drama mulai dari konditioning sampai dengan
usai tersebut, pertama persiapan, kedua conditioning, ketiga introduksi,
dan keempat drama yang
sebenarnya. Keempat penyajian drama
tersebut selanjutnya akan diterangkan
sebagai berikut.
Persiapan
yang dimaksud adalah para pelaku seperti aktor atau jika dalam wayang kulit
dalang, pengrawit, dan pesinden
menempatkan diri. Dilakukannya persiapan ini, sudah barang tentu juga telah
adanya persiapan-persiapan sebelumnya seperti panggung, lampu, rias, busana dan
sebagainya.
Conditioning, adalah pengantar suasana yang
diberikan kepada penonton, agar penonton tersebut kemudian bisa mencurahkan
perhatian penuh kepada drama yang akan disajikan. Conditioning, dalam pedalangan yang sudah lebih mapan ini tampak pada
karawitan awal sebelum wayang dimulai, yakni talu. Dalam karawitan awal ini, membangkitkan untuk
mengetahui/melihat pertunjukan yang akan ditampilkan-wayang kulit.
Introduksi, adalah sajian drama untuk masuk
pada sajian drama sebenarnya.
Introduksi
tersebut dengan kata lain adalah sajian drama tersebut bukan sajian drama
yang sebenarnya hendak disajikan. Introduksi ini biasa menampilkan sebagian
dari cerita yang ada,
seperti cerita awal, cerita tengah, atau cerita akhir.
Melakukan introduksi yang
biasa menampilkan sebagian cerita yang ada ini, dalam wayang disebut dengan istilah
mucuki. Mucuki ini dilakukan oleh dalang lain, artinya bukan
dalang yang sebenarnya. Mucuki bisa
menampilkan sebagian cerita yang akan tampil dalam pathet Nem, pathet Sanga, atau pathet Manyura, atau bisa pula menampilkan
keseluruhan cerita tetapi diringkas.
Mucuki dengan salah satu adegan yang ada
dalam pathet Nem, atau pathet Sanga, atau pathet Manyura, maksudnya agar penonton benar-benar
memperhatikan adegan tersebut yang nantinya akan keluar dalam
penyajian sebenarnya.
Mucuki dengan menampilkan keseluruhan
cerita tetapi diringkas
memang bisa tetapi jarang
dilakukan, sebab mucuaki dengan menampilkan keseluruhan
cerita tetapi diringkas
tersebut menjadikan penonton akan tahu isi ceritanya secara keseluruhan.
Penonton jika sudah tahu isi ceritanya secara
keseluruhan, maka penonton
akan kemba,
maksudnya tidak tertarik lagi untuk menonton penyajian wayang
sebenarnya sampai dengan selesai.
Mucuki dengan
menampilkan cerita lain, maksudkan adalah
agar penonton mengerti latar belakang cerita yang akan disajikan sebenarnya.
Penyajian
drama sebenarnya, adalah dimulai dari pemaparan atau adegan pertama, sampai dengan
penyelesaian atau adegan terakhir. Untuk wayang kulit purwa penyajian
sebenarnya diawali dari jejer, atau
adegan pertama, sampai dengan adegan
tanceb kayon atau adegan terakhir, dilanjutkan golekan (adegan wayang golek menari).
C. Sutradara
Jadi Penonton
Sutradara
jadi penonton, dalam hal ini dimaksudkan agar sutradara mengetahui drama yang
ditampilkan: mana-mana kekurangan, mana-mana kelebihan, atau mana-mana yang
harus dipertahankan, dan
mana-mana yang harus dibenahi, dibuang, ditambah, dikurangi, dan
sebagainya. Sutradara jadi penonton ini dilakukan, sebab, penyajian drama
sebenarnya kadang-kadang belum merupakan proses akhir, artinya drama tersebut
masih ada kemungkinan untuk dipertahankan atau dipentaskan kembali, hingga oleh karena itu, ketika masih mendapat
kesempatan untuk mementaskan kembali inilah maka berhasil tidaknya pementasasn
tersebut perlu dipantau oleh terutama oleh sutradara. Artinya, kelebihan dan
kekurangannya akan bisa dipertahankan dan dibenahi, atau dibuang dalam
pementasan kemudian.
Sutradara untuk mengetahui
berhasil tidaknya sebuah penyajian
drama, yang paling tepat adalah menjadi
penonton aktif,
artinydan tidak menjadi
pemain. Sutradara
dengan menjadi penonton aktif dan tidak menjadi pemain tersebut, maka akan: pertama mudah dalam mengetahui seluruh unsur-unsur yang ditampilkan
sampai dengan perkara-perkara kecil di
dalamnya, kedua bisa konsentrasi
secara penuh terhadap drama yang dipentaskan.
D. Kritik
Kritik,
dimaksudkan agar sutradara mendapatkan masukan tentang kekurangan-kekurangan dan
kelebihan-kelebihan, atau mana-mana drama yang harus dipertahankan, mana-mana
yang harus dibuang, dan mana-mana yang
harus dibenahi.
Kritik,
sudah barang tentu datang dari berbagai pihak baik penonton bahkan dirinya atau
sutradara yang ketika itu (ketika drama ditampilkan) jadi penonton.
E. Drama Dipentaskan Kembali
Drama
dipentaskan kembali. Drama yang dipentaskan kembali, sudah barang tentu lain
dengan drama yang dipentaskan sebelumnya, sebab drama yang dipentaskan kembali
tersebut sudah mengalami perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kepedulian
sutradara menerima berbagai kritik baik dari penonton maupun diri-sendiri yang
ketika itu menjadi penonoton.
F. Sukses
Sukses, maksudnya drama
yang dipentaskan kembali tersebut telah bisa memenuhi kriteria-kriteria seperti
yang direncanakan. Drama yang
dipentaskan kembali tersebut setelah sukses, tentu saja diharapkan bisa memuaskan
berbagai pihak. Sukses ini sebenarnya
sudah diharapkan pada drama awal yang baru sekali ditampilkan. Tetapi sekiranya
belum, maka setidak-tidaknya sukses ini bisa terwujut setelah drama ditampilkan
kembali.
G. Honor
Honor atau reeword (ganjaran)
yang diberikan dramawan pada umumnya adalah berbentuk material (uang). Oleh karena itu, di kalangan seniman-seniman
tradisi seperti wayang, tari, dan karawitan itu ada istilah “PY” (Peye):
payu atau payon, atau laku layaknya barang dijual yang jika laku berarti
mendapatkan uang. Khusus dalang para wali
dulu lain, reword-nya syahadat, seperti diterangkan dalam
sejarah sebagai berikut:
“Bari gampil tanggapane among maos kalimat
syahadat nuli Islam”.
Artinya:
“Mudah sekali tanggapan-nya,
yakni hanya dengan membaca syahadat
kemudian masuk Islam”.
Berdasar sejarah tersebut, maka jika Sunan Kalijaga laku mendalang, karena
tujuannya untuk dakwah, maka bayarannya bukanlah material uang atau material
yang lain, tetapi membaca dua kalimat syahadat:
“laa ilaaha illallaah, Muhammadu
rrasuulullaah” kemudian masuk Islam.
Rewaord yang
diminta dalang, sesungguhnya sangat tergantung pada prinsip yang digunakan untuk pentas. Jika prinsip yang digunakan untuk pentas itu
material, maka bayarannya uang. Jika
prinsip yang digunakan untuk pentas itu sangkan
paran, maka bayarnnya moral. Untuk orang Jawa semula prinsip yang
digunakan untuk pentas adalah sangkan
paran, dan balasannya benar-benar
moral, sehingga apa yang dipentaskan seperti wayang misalnya, menjadi kesenian
wayang yang adi luhung. Tetapi karena
untuk sekarang prinsip yang digunakan
untuk pentas itu material, maka adi
luhung wayang yang dipentaskan itu kemudian menjadi dipertanyakan. Oleh karena itulah maka dalam dunia
pedalangan kemudian ada istilah pertama dalang
Sejati, kedua dalang Wikalpa, dan ketiga dalang Edan.
Dalang Sejati, adalah
dalang yang ketika mendalang berangkat dari sangkan
kepada paran. Artinya mendalangnya berangkat dari karena
Allah kepada Allah, sehingga akhir dari
setiap kali mendalang tidak memperoleh
honor atau bayaran kecuali perubahan
moral yang baik. Atau dengan kata lain
dalang sejati itu adalah dalang yang berangkatnya dari moral untuk moral.
Dalang Wikalpa adalah dalang tiruan, yakni dalang
yang berangkatnya dari karena Allah tetapi kepada makhluk, sehingga akhir dari
setiap kali mendalang mendapatkan honor material uang. Dengan kata lain dalang wikalpa adalah dalang
yang berangkatnya dari moral untuk material.
Dalang Edan adalah dalang yang berangkatnya dari
material dapatnya juga material. Sekarang
ini lebel-lebel dalang edan sudah banyak diberikan kepada dalang-dalang
tertentu.
Realitasnya dalang Sejati untuk sekarang ini sudah tidak ada lagi,
kecuali di zaman dulu, yakni Wali Sunan Kalijaga. Dalang Wikalpa ada dalam banyak
orang sekarang ini, demikian juga dalang
Edan.
H. Jalannya
Penyajian Drama
Jalannya penyajian drama
mulai dari awal sampai dengan akhir tersebut, jika dibuat sebuah skema maka
akan menjadi seperti berikut:
Persiapan pertujukan ! Conditioning
! Introduksi ! Tampil tokoh protagonis !
! Pemaparan !
Protagonis=Antagonis ! Protagonis><Antagonis
! Protagonis><Antagonis+Tritagonis !
Penggawatan !
Klimaks !
Anti Klimaks !
Protagonis + Tritagonis ! Protagonis+Happy and ! Sukses ! Menerima honor.
Conclution ! Pantarai
Contoh jalannya penyajian
drama dimulai dari awal sampai dengan akhir seperti skema tersebut di atas,
banyak dilakukan dalam penyajian drama tradisi seperti wayang kulit, wayang
orang, ludruk, dan ketoprak.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Tohari, 2009. Senyum Karyamin.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Bambang
Murtiyoso, 2001. “Kumpulan Essay”, sekolah Tinggi Seni Indonesia: Surakarta.
Bambang
Widoyo, 1989. Gapit. Yayasan Bentang
Budaya: Surakarta.
Becker,
A. L, Arama, A. Yengoyan, 1979. The Imaginasition of Reality Essays in
Southeast Asian Cohence System”. Ablex Publishing Corporation: Norwood New
Jersey o7648.
Depdikbud,
1984. Mengenal Seni Teater Daerah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sahabat: Jakarta.
Djelantik, 1999. Estetika: Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni Pertunjukan (MSPI): Bandung
Edi Erianto, 2013,
dalam “Mandiri Pangan”: Kedaulatan rakyat, 2013: 9
Enis Herawati, 1990.
“Kirtyarini” (Karya Seni): Disajikan dalam rangka Pentas Seni Kreasi Baru,
1990).
Hadi sumandyo,
2003. Aspek-aspek koreografi Kelompok,
Elkahfi: Yogyakarta.
Hari Leo Air,
ND. Menggambar
Angin. Gress Publising: Yogyakarta.
Harimawan, 1977. Dramaturgi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hartoko, 1991. Manusia dan Seni. Kanisius: Yogyakarta.
Imam Budi utomo,
1992, (dalam Widyaparwa, no. 39.
Oktober, 1992:26).
Kedaulatan Rakyat,
2013.
Kusnadi, 2011. Apresiasi Tari, Tiga Serangkai: Yogyakarta.
Medi Loekito,
2009. Air Mata Tuhan (Antologi Puisi). Bukupop: Jakarta.
Mulyono, Sri, 1976. Wayang
Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya, Gunung Agung: Jakarta
Ozias Fernandus,
1990. Antara Budaya Barat dan Timur.
Flores: Nusa Indah.
Panitia
Ketoprak dan dagelan Matara, 1997. Kethoprak
Orde Baru. Yayasan Bentara Budaya: Yogyakarta.
Rusyana, Yus,
1979. Kegiatan Apresiasi Sastra Indonesia
Murid SMA Se Jawa Barat, PN.
Balai Pustaka: Jakarta.
Subalidinata, 1985.
Sejarah dan Perkembangan Cerita Murwakala.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suwarno, Bambang, 1980.
Diktat Penyajian lakon “Dewaruci”
Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta
Suyanto. 1998. “Rama
Tundung”. Penyajian Pedalangan. Akademi Seni Karawitan Indonesia. Suraklarta
Taylor, E. Saren. 1981.
Drama dan Teater (terjemahan
Sutrisno, 1981). PT Anindita Braha Widya: Yogyakarta.
Tim Mata Kuliah: Kus
Warsantyo, Zulfi Hendri, Suwarno, Susapto Murdowo, Herlinah, Ni. Nyoman
Seriati, Cipto Budi Handoyo, Puji Wiyono, Anwar Effendi, Hajar Pamadi, I Wayan
suwardana. “Apresiasi Seni”, 2005. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta.
Nara sumber
Suparjo: dosen
pengampu Mata Kuliah Dramaturgi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta.
Sumaryadi dosen
pengampu Mata Kuliah Dramaturgi Mata Kuliah Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta.
GLOSARI
Blencong : lampu penerang dalam
pertunjukan wayang kulit
purwa
Cekruktruna : nama tokoh
orang desa dalam wayang kulit purwa
yang tampil berperang melawan macan atau celeng
Dipuk-puk :
dipukul-pukul pantatnya dengan rasa kasih sayang
Drama happy : drama yang
diakhiri dengan kebahagiaan
Drama satire :
drama sindirian yang kebanyakan menyindir atau
mengkritik pemerintah
Drama tragis : drama yang
diakhiri dengan kesedihan
Dramaturg :
orang yang ahli drama
First model of imitation : model pertama dari sebuah tiruan
alam
Hukum drama :
sesuatu yang harus ada dalam drama, jika tidak
drama itu tidak akan berjalan
Jejeran : adegan pertama dalam
pertunjukan wayang kulit
purwa
Konflik :
tarik menarik sebuah kepentingan antara tokoh satu
dengan tokoh lainnya
Konvensi drama :
kesepakatan dalam dari sebuah drama
Lakon : pengertian laokn di kalangan masyarakat jawa
adalah sama dengan cerita cerita.
Medhang Miring :
menyampaikan pesan tidak dengan cara terang-
terangan
Methok : menyampaikan pesan dengan
cara terang-terangan
Model of imitation : model tiruan dari sebuah
alam
Monolog :
dalam istilah jawa adalah ngunandika,
yakni bicara
sendirian.
Nyampar
Pikoleh : menyampaikan pesan dengan cara lebih
tersembunyi lagi dibanding dengan cara medhang
miring
Opera :
jenis drama yang menggunakan tembang
Pantha Rhei :
masalah yang muncul setelah lakon selesai
Pathet Jugag :
jenis lagu yang dilantunkan dalang dalam
pertunjukan wayang kulit purwa dengan
mempunyai rasa lega
Pengertian secara harfiyah : pengertian secara ahuruf dan kata
perkata
Perang Gojalisuta : perang antara orang tua melawan anak, dalam
wayang kulit purwa adalah Kresna melawan
Bomanarakasura
Rambangan : jenis drama
yang dialognya menggunakan
tembang, dalam hal ini adalah palaran
Rampogan : jenis tokoh wayang dalam bentuk
arak-arakan
tentara
atau prajurit berbaris
Second model of imitation : model kedua dari sebuah tiruan alam
Sedhel : tempat meletakkan pantat
seseorang ketika
mengendarai sepeda
Skenario :
naskah yang berisi petunjuk dalam menampilkan
drama
Sosiodrama :
drama yang titik beratnya adalah masalah sosial
Suluk : jenis lagu atau tembang
yang dilantunkan oleh
dalang dalam pertunjukan wayang kulit purwa
The life presented : drama yang menampilkan
sebuah kehidupan
Ta’aruf : mengajak manusia dalam
bentuk awal atau
perkenalan
Targhib : mengajak melakukan pesan
dengan cara
memberikan semangat
Takhruj : melakukan pesan seperti yang
disampaikan
Tasykil : mengajak secara langsung
dengan cara terang-
Terangan untuk melakukan pesan dimaksud
Tokoh antagonis :
tokoh yang melawan tokoh protagonis
Tokoh protagonis :
tokoh yang pro terhadap masalah
Tokoh tritagonis :
tokoh penengah antara tokoh protagonis dan
antagonis
Tonil :
drama yang dipertunjukkan hanya dalam beberapa
jam saja
Topik :
daerah permasalahan
Kebutuhan Pementasan
Pementasan
mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus ditunaiakn. Kebutuhan kebutuhan pementasan itu adalah,
1. kebutuhan tokoh, dan 2. kebutuhan pementasan.
Kebutuhan tokoh itu meliputi: a. kebutuhan alat rias, b. kebutuhan property. Sedang
kebutuhan pementasan itu meliputi: a. kebutuhan musik, b. kebutuhan tata lampu,
dan c. kebutuhan dekorasi.
Media Drama
1 suara, 2. tubuh, 3. kata, 4. dialog, 5. monolog, 6. prolog, dan 7. epilog.
Naskah drama, dalam pembuatannya
haruslah mencerminkan adanya watak tokoh, adegan dan konflik, dan bagian-bagian
penting seperti eksposisi atau perkenalan, komplikasi atau permulaan masalah,
klimaks atau masalah puncak, anti klimakas atau masalah menurun, resolusi atau
penyelesaian, dan kongklusi atau kesimpulan.
6.
Dari Sisi Cara Dialognya
Dari sisi kemajuannya, drama itu ada pertama:
drama tradisi, kedua: drama
kontenporer. Drama tradisi dan drama kontenporer itu akan diterangkan kemudian.
Drama
tradisi, disebut pula sandiwara. Drama tradisi ini disajikan secara konvensional, artinya disajikan sesuai
dengan kesapakatan-kesepakatan tuntunan atau pakem yang ada. Sedang drama kontenporer, disebut pula drama
modern. Drama kontenporer ini disajikan
secara modern, artinya disajikan dengan penuh dengan pembaharuan, dan memadukan
konsep timur dan barat, artinya memadukan konsep tuntunan atau pakem yang ada dengan konsep dramaturgi.
Pementasan drama bukanlah barang
jadi, artinya begitu saja mudah dilakukan.
Pementasan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus ditunaiakan. Kebutuhan kebutuhan pementasan itu adalah,
1. kebutuhan tokoh, dan 2. kebutuhan
pementasan. Kebutuhan tokoh itu meliputi: a. kebutuhan alat rias seperti pupur,
kapas, pensil, dan b. kebutuhan properti seperti tas, sapu tangan, topi. Sedang
kebutuhan pementasan itu meliputi: a. kebutuhan music untuk membentuk suasana,
b. kebutuhan tata lampu untuk membuat pencerah dan penyinar, dan c. kebutuhan
dekorasi untuk membuat setting panggung.
3. Drama Nyata
Drama
nyata adalah drama kelak diakhirat. Drama nyata kelak diakhirat ini dijamin
oleh setiap agama seperti dalam kitabnya. Drama nyata ini ada bahagia ada sengsara. Bahagia di sorga, sengsara di neraka. Bahagia
disorga sebagai balasannya orang berbuat baik ketika di dunia, sengsara di neraka
sebagai balasannya orang berbuat jahat ketika di dunia. Drama nyata ini
sifatnya langgeng abadi, jika bahagia bahagia selamanya, jika sengsara sengsara
juga sengsara selamanya.
: